TUGAS MATA KULIAH
POLITIK DAN KEBIJKAN KEHUTANAN
(Perkembangan
Sumberdaya Air dengan Berbagai Permasalahannya serta kebijakan Penanggulangan)
O l e h
YULIANUS D. KOMUL
I. PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kepulauan Indonesia terdiri dari sekitar
17.508 pulau dan sekitar 6.000 merupakan pulau yang berpenghuni. Kepulauan
tropis menyebar di sepanjang seperdelapan dari ekuator sekitar 8 juta km2,
dengan total luas lahan 1,92 juta km2), dan wilayah laut seluas 3
juta km2 dengan total panjang garis pantai sekitar 84.000
km.Penduduk Indonesia sebanyak 226 juta (data 2008) tersebar di beberapa pulau.
Dengan tingkat pertumbuhan 1,66% dari penduduk diperkirakan tumbuh menjadi 280
juta pada tahun 2020. Jawa, sebagai pulau yang paling padat penduduknya hanya
seluas 6,58% dari total wilayah Indonesia, berpenduduk 58% (120,4 juta) dari
total penduduk di Indonesia.
Dalam dasawarsa yang lalu, imigran
perkotaan mengakibatkan pertumbuhan perkotaan sekitar 5% per tahun.
Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 sekitar 52% penduduk akan tinggal di
lingkungan perkotaan, meningkat 38% dibandingkan tahun 1995.Terlepas dari
tingginya potensi sumber daya air, sumber daya air permukaan di Indonesia
mengalami kekurangan selama musim kemarau, namun terjadi banjir selama musim
hujan terutama di beberapa daerah. Meskipun Indonesia memiliki curah hujan yang
berlimpah, dengan rata-rata nasional lebih dari 2.500 mm/tahun, namun terjadi
perbedaan yang sangat besar di daerah tertentu di Indonesia. Hal ini terjadi
berkisar dari daerah-daerah yang sangat kering di Nusa Tenggara, Maluku dan
Sulawesi bagian dari Kepulauan (kurang dari 1.000 mm) dan yang sangat basah di
beberapa bagian daerah Papua, Jawa, dan Sumatra (lebih dari 5.000 mm). Seperti
di banyak negara lain, kondisi sumber daya air di Indonesia telah sampai pada
tahap di mana tindakan terpadu diperlukan untuk membalikkan tren yang terjadi
saat ini yatiu penggunaan air yang berlebihan, polusi, dan meningkatnya ancaman
kekeringan dan banjir.Mengingat tantangan yang dihadapi oleh sektor sumber daya
air dan sektor irigasi di abad ke-21 dan reformasi sektor publik yang lebih
memperhatikan aspirasi rakyat, Pemerintah Indonesia telah memulai program
reformasi bidang sumber daya air yang meliputi aspek kebijakan, aspek
kelembagaan, aspek legislatif dan peraturan, dan kebijakan konservasi sumber
daya air telah mendapat bagian yang substansial dalam agenda reformasi.Air
merupakan sumber daya penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan
pembangunan, telah meningkatkan kebutuhan air. Di lain pihak, ketersediaan air
dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dapat dikategorikan
berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti
pencemaran, penggundulan hutan, kegiatan pertanian yang mengabaikan kelestarian
lingkungan dan berubahnya fungsi daerah tangkapan air.Air sebagai penopang
pembangunan dewasa ini (bahkan sudah dirasakan sejak lama) semakin terancam
keberadaannya, baik dan segi kuantitas maupun kualitasnya. Hal tersebut
sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia yang kurang arif terhadap
lingkungan sehingga berpengaruh terhadap sumberdaya air, bahkan akhirnya berdampak
negatif terhadap manusia sendiri. Sumberdaya air sebagai bagian dari
sumberdaya alam (natural resources), di dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 disebutkan diarahkan sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi
dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan
ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang
pengusahaannya diatur dengan undang-undang.UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya
air harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian
yang terkandung di dalam amanat tersebut adalah bahwa negara bertanggungjawab
terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumberdaya air bagi seluruh
masyarakat Indonesia, dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumberdaya air
harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsip-prinsip
kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan di bahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut
1. Apa yang di
maksud dengan pembangunan dalam kaitan dengan sumber daya air
2. Bagaimana Status Pembangunan
Sumberdaya Air di Indonesia?
3. Bagaimana
dampak aktivitas pembangunan terhadap ketersediaan air ?
4. Bagaimana
hubungannya dengan siklus hidrologi dan sumber daya air ?
5. Bagaimana
masalah-masalah pengelolaan sumber daya air ?
6. Bagaimana
konservasi sumber daya air?
C. TUJUAN
Adapun
tujuan yang di harapakan dalam penyusunan makalah ini adalah
1. Dapat memahamai
definisi dari pembangunan itu sendiri.
2. Dapat mengetahui bahwasanya
pembangunan ini memiliki dampak terhadap ketersediaan sumber daya air.
3. Dapat mengerti hubungannya dengan
siklus hidrologi dan sumber daya air.
4. Dapat mengetahui masalah-masalah
dalam pengelolaan sumber daya air.
5. Menambah pengetahuan tentang
konservasi sumber daya air itu seperti apa.
II. PEMBAHASAN
2. PENGERTIAN PEMBANGUNAN
Pembangunan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk
merubah kondisi lama menjadi kondisi yang baru dengan maksud untuk melakukan
pengembangan dengan memanfaatkan kondisi geologi secara fisik yang juga
memanfaatkan sumber daya alam, kegiatan tersebut berlangsung di atas permukaan
bumi. Salah satu contoh yaitu pembangunan di bidang sektor pertambangan,
perindutrian dan pertanian.Kebijakan pembangunan infrastruktur di Indonesia
telah dimulai sejak masa Hindia-Belanda, terutama untuk sektor sumber daya air
dengan dikeluarkannya Peraturan Umum tentang Air (Algemeene Water Reglement (AWR)
pada tahun 1936 dan Algemeene Water beheers
verordening pada tahun 1937) dan diikuti dengan Peraturan Airtingkat
Propinsi Provinciale Water Reglement (Jawa Timur dan Jawa Barat)
pada tahun 1940. Pada masa setelah kemerdekaan, peraturan yang ditetapkan
sejalan dengan UUD 1945.Pembangunan infrastruktur secara menyeluruh selanjutnya
dimulai dengan disusunnya Rencana Pembangunan Lima Tahun – I (REPELITA I)
periode 1968/1969 – 1973/1974 termasuk sektor sumber daya air, transportasi,
dan listrik. Pembangunan infrastruktur dilaksanakan secara cepat selama
pelaksanaan REPELITA I hingga VI. Pembangunan infrastruktur di sektor sumber
daya air telah berhasil meningkatkan produksi pangan hingga mencapai swasembada
pangan pada tahun 1980. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, telah
dikembangkan juga infrastruktur pengairan dan sanitasi terutama sejak
pelaksanaan REPELITA III. Namun demikian, pembangunan tidak dapat mengimbangi
pertumbuhan penduduk dimana cakupan pelayanan hanya dapat mencapai sekitar 55%
dari jumlah penduduk di Indonesia.Mengingat pengembangan sumber daya air di
Indonesia selalu mengalami peningkatan dan perubahan dari waktu ke waktu, maka
dari itu sangat diperlukan untuk melakukan pengembangan dan peningkatan sektor
sumber daya air baik dari segi kebijakan, peraturan dan perundang-undangan,
aspek kelembagaan, maupun pelaksanaan di lapangan. Hal tersebut perlu
diintegrasikan dengan paradigm pembangunan nasional dan pembangunan sumber daya
air secara keseluruhan.Dengan meningkatnya permintaan masyarakat untuk sumber
daya air baik secara kuantitas maupun kualitas, maka dapat mendorurng untuk
penguatan nilai ekonomi sumber daya air dibandingkan dengan nilai sosial dan
berpotensi untuk terjadi konflik kepentingan antar sector, antar wilayah dan
antar berbagai pihak yang terkait sumber daya air. Pengelolaan sumber daya air
yang lebih mempertimbangkan nilai ekonomiakan cenderung untuk memberikan
manfaat yang lebih banyak kepada kepentingan penguatan ekonomi dan akan
mengesampingkan kepentingan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
terhadap air. Hal ini akan menjadi kerugian bagi kelompok masyarakan yang tidak
mampu bersaing karena rendahnya kemampuan ekonomi, bahkan akan menyebabkan hak
dasar setiap orang untuk mendapatkan air tidak dapat dipenuhi. Mengingat sumber
daya air merupakan sumber kehidupan, pemerintah wajib melindungi kepentingan
kelompok masyarakat berkemampuan ekonomi rendah untuk mendapatkan sumber daya
air secara adil dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air
yang mampu menyeimbangkan antara nilai sosial dan nilai ekonomi sumber daya
air.
2.1. HIDROLOGI DAN SUMBER DAYA AIR
Dalam membicarakan ruang lingkup sumberdaya
air yang pada dasarnya membahas hidrologi, akan lebih mudah bila
penjelasannya dikaitkan dengan sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang digunakan
sebagai wilayah maupun satuan analisisnya. Dalam sistem DAS biasanya digambarkan
hubungan antara hujan sebagai masukan dan aliran sebagai keluarannya dalam suatu
sistem sebagai berikut. Keluaran yang dihasilkan dalam sistem tersebut tidak
terbatas pada aliran, tetapi dapat juga merupakan zat kimia yang terbawa
aliran dan atau sedimen yang terbawa aliran yang bersangkutan.Hubungan
tersebut umumnya berlangsung dalam penelitian sumberdaya air pada suatu DAS, atau
yang dikenal dengan pendekatan kotak hitam (black box). Air di muka bumi
mengalami peredaran (siklus) yang sering disebut dengan siklus hidrologi
atau daur hidrologi. Siklus hidrologi dapat dicerminkan dalam bentuk yang
sederhana maupun yang rumit, lengkap dengan proses-proses berlangsung di
dalamnya.Dalam penanganan suatu kegiatan yang melibatkan hidrologi, hendaknya
disesuaikan dengan tujuan dari kegiatan tersebut. Oleh sebab itu parameter
hidrologi yang diperlukan dalam suatu kegiatan harus disesuaikan. Dalam
kajian siklus hidrologi dapat dibedakan antara cara perhitungan dan
ruangan atau batas wilayah yang dipelajari dalam memperkirakan neraca
air.Indonesia mempunyai potensi air peringkat kelima terbaik di dunia, namun
baru 156 miliar meter kubik yang baru dimanfaatkan, diantaranya untuk irigasi
81%, dan 19% untuk domestik, perkotaan dan industri.
Hampir di seluruh wilayah Indonesia
mengalami permasalahan yang berkaitan dengan air, baik saat musim hujan maupun
di musim kemarau."Air merupakan sumber kehidupan manusia, tanpa air kita
tidak bisa hidup" jelas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam
sambutannya di acara pembukaan Pertemuan Regional Operasi dan Pemeliharaan
Prasarana Sumber Daya Air Wilayah II tahun 2013, di Banten (2/5).Atut juga
menyampaikan bahwa potensi masalah air yang ada bisa menjadi potensi yang
bermanfaat, Untuk itu, diharapkan adanya sinergi antara pusat, provinsi,
kabupaten/kota dan agar dapat diimplementasikan dengan baik.Pada kesempatan
yang sama Direktur Jenderal Sumber Daya Air (Dirjen SDA) yang diwakili oleh
Direktur Operasi dan Pemeliharaan (OP), Hartanto, menyampaikan hal yang senada,
bahwa diperlukan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam
hal irigasi. Selain itu, Hartanto juga menambahkan kewenangan Pemerintah pusat
hanya 32% dan selebihnya merupakan kewenangan propinsi dan kabupaten.Dalam
pengelolaan sumber daya air terdapat beberapa isu strategis diantaranya,
terbatasnya Sumber Daya Manusia, Operasi dan Pemeliharaan, belum optimalnya
kinerja lembaga pengelola SDA serta belum terpenuhinya alokasi dana OP berdasarkan
Angka Kebutuhan Nyata Operasi dan Pemeliharaan (AKNOP).Pertemuan ini
dimaksudkan untuk mengevaluasi atas upaya-upaya penyelesaian yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah atas beberapa
permasalahan yang muncul. Diharapkan, hasil dari pertemuan ini dapat memahami
dan menyepakati masukan-masukan tentang OP sungai sebagai bahan untuk
penyusunan draft pedoman OP sungai, tersusunnya program OP jaringan irigasi
Tahun Anggaran 2013, adanya kesepakatan komitmen dan konsisten Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pengelolaan irigasi
sesuai dengan UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan menyepakati
masukan-masukan tentang penyusunan draft Peraturan Pemerintah sebagai turunan
UU Sumber Daya Air (SDA).
2.1.1. Potensi Sumber Daya Air
Secara nasional, potensi sumber daya air
(air permukaan dan air tanah) tersebar di berbagai pulau di Indonesia dengan
kuantitas dan kualitas yang berbeda-beda. Demikian pula pemanfaatannya sangat
tergantung pada kebutuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang ada, seperti
pertanian (irigasi), industri, pariwisata, dan sebagainya."Times New
Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"
lang="EN-US">Berdasarkan studi Direktorat Jenderal (Ditjen)
Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1994, potensi air permukaan di
Indonesia adalah sebesar 1.789 milyar m3/tahun. Potensi air tersebut tersebar
di berbagai pulau, antara lain Papua sebesar 1401 x 109 m3/tahun; Kalimantan
sebesar 557 x 109 m3/tahun; dan Jawa sebesar 118 x 109 m3/tahun. Air permukaan
tersebut tersebar pada berbagai badan air, yaitu 5.886 sungai, 186 danau/situ,
waduk dan rawa seluas 33 juta hektar.Hal lain juga dikemukakan oleh Rohmat
(2010) bahwa debit air sungai Citarum dan sekitarnya yang masuk ke waduk
Djuanda dipandang sebagai jumlah yang terkendali. Total potensi sumberdaya air
selama satu tahun dihitung berdasarkan jumlah air bulanan. Pendekatan
perhitungan jumlah air tersebut disajikan dalam bentuk persamaan sebagai
berikut ( Rohmat, 2010) :
Qb = Qh x H x 86400 dan Qt = ∑QbiDengan :
Qb = Jumlah air
rata-rata dalam
m³/bulan
Qh = Debit
rata-rata harian
(m³/detik)
H = Jumlah hari
dalam bulan yang
bersangkutan
Qt = Rata-rata jumlah air total
selama 1 tahun (m³/tahun)
2.1.2. Kebutuhan Air
Kebutuhan air terbesar di Indonesia terjadi
di Pulau Jawa dan Sumatera, karena kedua pulau ini mempunyai jumlah penduduk
dan industri yang cukup besar. Kebutuhan air lainnya yang besar adalah untuk
keperluan pertanian (irigasi) dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan yang terus
meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Berdasarkan data dari
Ditjen Pengairan, Departemen Pekerjaan Umum tahun 1991, pada tahun 1990
kebutuhan air untuk pertanian (irigasi dan tambak) adalah 74,9 x 109 m3/tahun,
sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut akan meningkat
menjadi sebesar 91,5 x 109 m3/tahun, dan pada tahun 2015 menjadi sekitar 116,96
x 109 m3/tahun. Berarti persentase kenaikan kebutuhan air untuk pertanian
antara tahun 1990 dan 2000 adalah sebesar 10%/tahun dan antara tahun 2000 dan
2015 sebesar 6,7 %/tahun.
Di samping kebutuhan air untuk domestik dan
pertanian, kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup besar. Berdasarkan
data dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor industri pada
tahun 1990 adalah sebesar 703,5 x 106 m3/tahun, dan proyeksi untuk tahun 1998
adalah sebesar 6.474,8 x 106 m3/tahun. Peningkatan sebesar sembilan kali lipat
atau 12,5%/tahun merupakan perkiraan berkembangnya industri di beberapa
provinsi, antara lain di Riau, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur dan
Kalimantan Timur.Karena ketersediaan air permukaan yang dapat dimanfaatkan
semakin terbatas maka terjadi peningkatan penggunaan air tanah terutama di
kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya.
Sebagai contoh, pemanfaatan air tanah untuk sektor industri saja di Kota
Bandung mencapai 66,9 x 106 m3/tahun. Di wilayah DKI Jakarta dan daerah
penyangganya yaitu Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek) diketahui cekungan air
tanahnya meliputi luas 3.000 km2.
2.1.3. Ketersediaan air (Water availability)
Ketersediaan air
adalah berapa besar cadangan air yang tersedia untuk keperluan irigasi.
Ketersediaan air ini biasanya terdapat pada air permukaan seperti sungai,
danau, dan rawa-rawa, serta sumber air di bawah permukaan tanah. Pada
prinsipnya perhitungan ketersediaan air ini bersumber dari banyaknya curah
hujan, atau dengan perkataan lain hujan yang jatuh pada daerah tangkapan hujan (catchment
area/ watershed) sebagian akan hilang menjadi evapotranspirasi,
sebagian lagi menjadi limpasan langsung (direct run off), sebagian
yang lain akan masuk sebagai infiltrasi. Infiltrasi ini akan menjenuhkan tanah
atas (top soil), kemudian menjadi perkolasi ke ground water yang
akan keluar menjadi base flow. (Anonim, 2009).Di samping data meteorologi, dibutuhkan pula data cahaya permukaan (exposed
surface), dan data kelembaban tanah (soil moisture). Untuk
rumus run off adalah : Run off = base flow
+ direct run off
2.1.4. Karakteristik Sumberdaya Air
Secara eksplisit karakteristik dasar sumberdaya air
antara lain:
1.
Dapat mencakup beberapa wilayah administratif (cross-administrative
boundary) dikarenakan oleh faktor topografi dan geologi
2. Dipergunakan oleh berbagai aktor (multi-stakeholders)
3. Bersifat sumberdaya
mengalir (flowing/dynamic resources) sehingga mempunyai keterkaitan yang
sangat erat antara kondisi kuantitas dengan kualitas, antara hulu dengan hilir,
antara instream dengan offstream, maupun antara
air permukaan dengan air bawah tanah.
4. Dipergunakan baik oleh generasi
sekarang maupun generasi mendatang (antar generasi).
Kuantitas dan
kualitas air amat bergantung pada tingkat pengelolaan sumber daya air
masing-masing daerah, keragaman penggunaan air yang bervariasi – pertanian, air
baku domestik dan industri, pembangkit tenaga listrik, perikanan, dan
pemeliharaan lingkungan – selain iklim, musim (waktu) serta sifat ragawi alam
(topografi dan geologi) dan kondisi demografi (jumlah dan penyebaran) serta
apresiasi (persepsi) tentang air.Mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka
sumberdaya air merupakan sumberdaya alam yang sangat vital bagi hidup dan
kehidupan mahluk serta sangat strategis bagi pembangunan perekonomian, menjaga
kesatuan dan ketahanan nasional sehingga harus dikelola secara terpadu,
bijaksana dan profesional.
2.2. Dampak Aktivitas Pembangunan Terhadap Ketersediaan Air
Pembangunan yang selama ini kita ketahui ternyata memiliki
dampak yang sangat tinggi terhadap ketersediaan air, baik itu air permukaaan
maupun air bawah permukaan. Dengan adanya pembangunanini, ada dampak positif
yang hal itu di rasakan dan dinikmati oleh manusia, sedangkan dampak negatif
dari pembangunan ini salah satunya adalah ketersediaan air. Kita ketahui bahwa
air adalah sumber daya alam yang harus di jaga dengan baik. Karena air adalah
sumber dari kehidupan manusia di bumi ini.Sumberdaya air dapat terkena dampak
dari pembangunan itu sendiri. Perubahan kondisi lingkungan yang
diakibatkan oleh pembangunan dapat berdampak pada sumberdaya air baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Peristiwa banjir yang sering terjadi tidak
terlepas dari dampak perubahan penggunaan lahan. Pencemaran pada air sungai dan
air tanah yang sering terjadi juga merupakan dampak dari pembangunan juga,
seperti adanya pembangunan pabrik gula. Limbah dari pabrik gula itu pembuangannya
masih di arahkan ke sungai-sungai, bagaimana tidak tercemar air yang ada di
sungai itu. Oleh karena itu perlu adanya ketegasan dari pihak pelestarian
lingkungan dalam menghadapi masalah tersebut. Dengan memperhatikan daur
hidrologi serta proses hidrologi yang mengalami perubahan dapat dikaji dampak-dampak
negatif yang mungkin timbul yang disebabkan oleh proses pembangunan.Untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia, maka prinsip dasar yang
berkaitan dengan sumber daya air yang perlu dipahami adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan air secara memadai dengan ketersediaan air yang terbatas untuk
seluruh penduduk Indonesia dan seluruh sektor pembangunan, dengan
mempertimbangkan aspek daya dukung dan konservasi sumber daya air. Namun hal itu
harus memperhatikan keadaan sumber daya manusia dalam mengelola pembangunan dan
menjalankan kegiatan pembangunan. Dengan melihat kondisi di sekitar utamanya
ketersediaan air maka tidak sembarang orang atau manusia dapat mengerti prinsip
dasar yang berkaitan sumber daya air. Banyak kita temui, orang-orang yang
tinggal di daerah dataran tinggi seperti di Kota Batu, Malang-Jawa Timur di
mana daerah batu dulunya adalah daerah resapan air hujan karena banyaknya
hutan-hutan yang masih berdiri tegak. Tapi saat ini kondisi di daerah Batu
sudah berbeda dengan dulu, yang mana hutan-hutan sudah di babat menjadi lahan
perkebunan holtikultura. Memang hal ini berkaitan dengan pembangunan di bidang
pertanian. Sehingga saat hujan turun hanya sebagian yang dapat di resap oleh
tanah, artinya proses infiltrasi di daerah Batu saat ini berkurang secara
drastis akibat pembangunan di bidang pertaniaan tersebut.
2.3. PENGELOLAAN SUMBER
DAYA AIR DI INDONEISA
2.3.1. Status dan Karakteristik Sumber Daya Air di Indonesia
Secara umum, sektor sumber daya air di Indonesia
menghadapi permasalahan jangka panjang terkait dengan pengelolaan dan tantangan
investasi , yang akan mempengaruhi pembangunan ekonomi negara dan menyebabkan
berkurangnya keamanan pangan, kesehatan masyarakat dan kerusakan lingkungan.
Pada tingkat kebijakan dan pelaksanaan, Indonesia menghadapi beberapa
permasalahan spesifik seperti sebagai berikut:
1. Ketidakseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan dalam perspektif ruang dan waktu. Indonesia yang
terletak di daerah tropis merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal
ketersediaan air. Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam
memenuhi kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial maupun
waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan,
baik dalam perspektif jumlah maupun mutu.
2. Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung sumber daya air,
baik air permukaan maupun air tanah. Kerusakan lingkungan yang semakin luas
akibat kerusakan hutan secara signifikan telah menyebabkan penurunan daya
dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan dan menyimpan air. Hal yang
memprihatinkan adalah indikasi terjadinya proses percepatan laju kerusakan
daerah tangkapan air.Kelangkaan air yang terjadi cenderung mendorong pola
penggunaan sumber air yang tidak bijaksana, antara lain pola eksploitasi air
tanahsecara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan permukaan
dan kualitas air tanah, intrusi air laut, dan penurunan permukaan tanah
3. Menurunnya kemampuan penyediaan air. Berkembangnya daerah permukiman dan
industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam kapasitas lingkungan
dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas infrastruktur penampung air
seperti waduk dan bendungan makin menurun sebagai akibat meningkatnya
sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan penyediaan air untuk irigasimaupun
air baku. Kondisi ini diperparah dengan kualitas operasi dan pemeliharaan yang
rendah sehingga tingkat layanan prasarana sumber daya air menurun semakin
tajam.
4. Meningkatnya
potensi konflik air. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas
kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga, permukiman,
pertanian maupun industri juga semakin meningkat. Pada tahun 2003, secara
nasional kebutuhan air mencapai 112,3 miliar meter-kubik dan diperkirakan pada
tahun 2009 kebutuhan air akan mencapai 117,7 miliar meter-kubik. Kebutuhan air
yang semakin meningkat pada satu sisi dan ketersediaan yang semakin terbatas
pada sisi yang lain, secara pasti akan memperparah tingkat kelangkaan air.
5. Kurang
optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi. Jaringan irigasi terbangun di
Indonesia berpotensi melayani 6,77 juta hektar sawah. Dari jaringan irigasi
yang telah dibangun tersebut diperkirakan sekitar 1,67 juta hektar, atau hampir
25 persen, masih belum atau tidak berfungsi. Untuk jaringan irigasi rawa, hanya
sekitar 0,8 juta hektar (44 persen) yang berfungsi dari 1,80 juta hektar yang
telah dibangun. Selain penurunan keandalan layanan jaringan irigasi, luas sawah
produktif beririgasi juga makin menurun karena alih fungsi lahan menjadi
non-pertanian terutama untuk perumahan
6. Makin meluasnya
abrasi pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam keberadaan
lahan produktif dan wilayah pariwisata. Selain itu, abrasi pantai pada beberapa
daerah perbatasan dapat menyebabkan bergesernya garis perbatasan dengan negara
lain. Dengan demikian di wilayah-wilayah tersebut, pengamanan garis pantai
mempunyai peran strategis dalam menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia
7. Lemahnya
koordinasi, kelembagaan, dan ketatalaksanaan. Perubahan paradigma pembangunan
sejalan dengan semangat reformasi memerlukan beberapa langkah penyesuaian tata
kepemerintahan, peran masyarakat, peran BUMN/BUMD, dan peran swasta dalam
pengelolaan infrastruktur sumber daya air. Penguatan peran masyarakat,
pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta diperlukan dalam rangka memperluas dan
memperkokoh basis sumber daya. Meskipun prinsip-prinsip dasar mengenai hal
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, namun masih diperlukan upaya tindak lanjut untuk menerbitkan beberapa
produk peraturan perundangan turunan dari undang-undang tersebut sebagai acuan
operasional. Pada aspek institusi, lemahnya koordinasi antarinstansi dan
antardaerah otonom telah menimbulkan pola pengelolaan sumber daya air yang
tidak efisien, bahkan tidak jarang saling berbenturan. Pada sisi lain,
kesadaran dan partisipasi masyarakat, sebagai salah satu prasyarat terjaminnya
keberlanjutan pola pengelolaan sumber daya air, masih belum mencapai tingkat
yang diharapkan karena masih terbatasnya kesempatan dan kemampuan.
8. Rendahnya
kualitas pengelolaan data dan sistem informasi. Pengelolaan sumber daya air
belum didukung oleh basis data dan sistem informasi yang memadai. Kualitas data
dan informasi yang dimliki belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia
pada saat diperlukan. Berbagai instansi mengumpulkan serta mengelola data dan
informasi tentang sumber daya air, namun pertukaran data dan informasi antar
instansi masih banyak mengalami hambatan. Masalah lain yang dihadapi adalah
sikap kurang perhatian dan penghargaan akan pentingnya data dan informasi
2.3.2. Pengembangan Infrastruktur Sumber Daya Air
Untuk peningkatan sumber daya air di
Indonesia, masih banyak diperlukan pembangunan bendungan, waduk, dan sistim
jaringan irigasi yang handal untuk menunjang kebijakan ketahanan pangan
pemerintah. Di samping itu untuk menjamin ketersediaan air baku, tetap perlu
dilakukan normalisasi sungai dan pemeliharaan daerah aliran sungai yang ada di
beberapa daerah. Pemeliharaan dan pengembangan Sistem Wilayah Sungai tersebut
didekati dengan suatu rencana terpadu dari hulu sampai hilir yang dikelola
secara profesional. Untuk itu perlu dikembangkan teknologi rancang bangun
Bendungan Besar, Bendung Karet, termasuk terowongan, teknologi Sabo, sistem
irigasi maupun rancang bangun pengendali banjir.Saat ini terdapat beberapa
Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki peran penting dalam penyediaan sumber
air sebagian telah mengalami kerusakan yaitu 62 DAS rusak dari total 470 DAS,
sehingga mengakibatkan menurunnya nilai kemanfaatan air sehubungan penurunan
fungsi daerah tangkapan dan resapan air. Saat ini jaringan irigasi terbangun
mencapai 6,77 juta ha (1,67 juta ha belum berfungsi), dan jaringan irigasi rawa
1,8 juta ha yang berfungsi untuk mendukung Program Ketahanan Pangan Nasional.
Namun di sisi lain perkembangan fisik wilayah telah memberikan dampak pada
terjadinya alih fungsi lahan pertanian sekitar 35 ribu ha per tahun.
a. Pelaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Air
Indonesia telah melakukan langkah maju
dalam pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air secara terpadu (Integrated
Water Resources Management – IWRM) yang menjadi perhatian dunai
internasional untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya air dalam mencapai
kesejahteraan umum dan pelestarian lingkungan. Sejalan dengan konsep IWRM yang
berkembang di forum internasional, beberapa tindakan telah diambil di tingkat
nasional dan daerah dalam rangka reformasi kebijakan sumber daya air.Reformasi
dalam pengelolaan sumber daya air merupakan salah satu tindakan penting untuk
mengatasi pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, dan konservasi sumber daya
alam. Dalam pelaksanaannya, telah diterbitkan beberapa kebijakan antara lain
diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA)
yang sejalan dengan prinsip-prinsip IWRM. Undang-undang ini bertujuan untuk
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh, berkelanjutan, dan
melalui pendekatan terbuka sehingga memberikan pilihan bagi masyarakat bisnis
dan organisasi non-pemerintah untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan sumber daya air terpadu.Undang-Undang Sumber Daya Air
menyatakan visi, misi, dan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya air di
Indonesia, sebagai dasar untuk pelaksanaan IWRM. Visi untuk pengelolaan sumber
daya air berdasarkan UU SDA adalah “Sumber daya air dikelola secara menyeluruh,
terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan
sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
(Pasal 3 UU SDA). Untuk menjalankan visi tersebut, telah diidentifikasi lima
misi pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) konservasi sumber daya air, 2)
pendayagunaan sumber daya air; 3) pengendalian daya rusak air; 4) pemberdayaan
dan peningkatan peran masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah; dan 5) perbaikan
data dan informasi yang ketersediaan dan transparansi. Selanjutnya, dalam
rangka untuk mencapai misi tersebut, pengelolaan sumber daya air dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip harmoni, kesetaraan, kesejahteraan umum,
integritas, keadilan, otonomi, transparansi dan akuntabilitas
b. Pelaksanaan Pengelolaan Irigasi
Indonesia telah memulai untuk
melaksanakan reformasi terhadap kebijakan pengelolaan irigasi sejak
diterapkannya Kebijakan Operasi dan Pemeliharaan Irigasi (Irrigation
Operation and Maintenance Policy – IOMP) pada tahun 1987. Upaya
reformasi tersebut merupakan respon terhadap kurangnya pembiayaan, kapasitas
kelembagaan dan institusi, permasalahan kinerja yang dihadapi Pemerintah dalam
rangka menjaga irigasi yang keberlanjutan.Pada tahun 1999, pemerintah
menerapkan kebijakan baru yang disebut Reformasi Kebijakan Pengelolaan Irigasi
karena pelaksanaan IOMP tahun 1987 tidak sesuai dengan yang diharapkan dan
krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 telah mendorong pemerintah untuk
meninjau ulang kebijakan pelayanan publik termasuk untuk pengelolaan irigasi.
Kedua kebijakan tersebut telah membuka ruangan yang lebih besar dan menuntut
peran utama petani untuk pengelolaan irigasi melalui Perkumpulan Petani Pemakai
Air (P3A). Penerapan kedua kebijakan tersebut memberlakukan kembali komitmen
pemerintah untuk perubahan pengelolaan irigasi dari dominasi institusi
pemerintah menjadi bentuk baru dalam pengaturan kelembagaan yang mengedepankan
kerjasama antara pemerintah dengan petani. Sebagai bentuk baru pengaturan
kelembagaan, diperlukan penguatan P3A dan kerjasama yang berkesinambungan
menjadi agenda penting dalam perubahan pengelolaan irigasi.Pada tahun 2006,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang
Irigasi sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. PP tentang irigasi tersebut mendorong Pembangunan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi parisipatif (PPSIP) sebagai pelaksanaan irigasi
berbasis partisipasi petani mulai, perencanaan, pengambilan keputusan, dan
pelaksanaan kegiatan pada tahap pembangunan, peningkatan, operasi dan
pemeliharaan, serta rehabilitasi untuk menjaga pemanfaatan air dalam bidang
pertanian berdasarkan prinsip partisipatif, kesetaraan, kesejahteraan
umum, keadilan, otonomi, transparansi dan akuntabilitas, serta berwawasan
lingkungan.Pengelolaan sistem irigasi partisipatif melibatkan semua pihak yang
berkepintingan dengan mengedepankan kepentigan dan peran serta petani.
Pelaksaannnya difasilitasi oleh Pemerintah tingkat Pusat, Provinsi, maupun
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya dan memberikan bantuan sesuasi
dengan yang dibutuhkan oleh P3A dengan tetap memperhatikan prinsip
kemandirian.Pemberdayaan dan pendayagunaan kelembagaan pengelolaan irigasi
perlu dilakukan untuk menjamin pengelolaan irigasi. Kelembagaan pengelolaan
irigasi tersebut meliputi instansi pemerintah, perkumpulan petani pemakai air
(P3A), dan komisi irigasi. Perkumpulan petani pemakai air dibentuk secara
demokratis pada setiap daerah layanan/petak tersier atau desa dan dapat
membentuk gabungan perkumpulan petani pemakai air (GP3A) pada daerah
layanan/blok sekunder, gabungan beberapa blok sekunder, atau satu daerah
irigasi. Selain itu perlu dibentuk juga induk perkumpulan petani pemakai air
(IP3A) pada daerah layanan/blok primer, gabungan beberapa blok primer, atau
satu daerah irigasi. Sementara itu, Komisi Irigasi dibentuk untuk mewujudkan
keterpaduan pengelolaan sistem irigasi pada setiap provinsi dan kabupaten/kota.
2.4. MASALAH PENGELOLAAN
SUMBERDAYA AIR
Secara umum masalah
pengelolaan sumberdaya air dapat dilihat dari kelemahan mempertahankan sasaran
manfaat pengelolaan sumberdaya air dalam hal pengendalian banjir dan penyediaan
air baku bagi kegiatan domestik, municipal, dan industri.Masalah
pengendalian banjir sebagai bagian dari upaya pengelolaan pengelolaan
sumberdaya air, sering mendapatkan hambatan karena adanya pemukiman padat di
sepanjang sungai yang cenderung mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena
banyaknya sampah domestik yang dibuang ke badan sungai sehingga mengakibatkan
berkurangnya daya tampung sungai untuk mengalirkan air yang datang akibat curah
hujan yang tinggi di daerah hulu.Pada sisi lain penyediaan air baku yang
dibutuhkan bagi kegiatan rumah tangga, perkotaan dan industri sering
mendapatkan gangguan secara kuantitas – dalam arti terjadinya penurunan debit
air baku akibat terjadinya pembukaan lahan-lahan baru bagi pemukiman baru di
daerah hulu yang berakibat pada pengurangan luas catchment area sebagai
sumber penyedia air baku. Disamping itu, secara kualitas penyediaan air baku
sering tidak memenuhi standar karena adanya pencemaran air sungai oleh limbah
rumah tangga, perkotaan, dan industri.Dengan diberlakukannya Undang-undang
22/1999 tentang Otonomi Daerah, masalah pengelolaan sumberdaya air ini menjadi
lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai (SWS) atau Daerah Pengaliran
Sungai (DPS) secara teknis tidak dibatasi oleh batas-batas administratif tetapi
oleh batas-batas fungsional, sehingga dengan demikian masalah koordinasi antar
daerah otonom yang berada dalam satu SWS atau DPS menjadi sangat penting dalam
pengelolaan sumberdaya air.Perubahan peran Pemerintah dari institusi penyedia
jasa (service provider) menjadi institusi pemberdayaan masyarakat dan
dunia usaha (enabler) agar memiliki kemampuan dalam menyediakan
kebutuhan air dan menunjang kegiatan usahanya secara mandiri dan berkelanjutan,
sehingga perlu adanya upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pengguna air untuk
mengelola dan melestarikan potensi-potensi sumber daya air.Pengelolaan
sumberdaya air menghadapi berbagai persoalan yang berhubungan berbagai macam
penggunaan dari berbagai macam sektor (pertanian, perikanan, industri,
perkotaan, tenaga listrik, perhubungan, pariwisata, dan lain-lain) baik yang
berada di hulu maupun di hilir cenderung semakin meningkat baik secara
kuantitas maupun kualitas. Hal ini telah banyak menimbulkan dispute antar
sektor maupun antar wilayah, yang pada dasarnya merupakan cerminan dari adanya conflict
of interests yang tajam serta tidak berjalannya fungsi koordinasi yang
baik.Memperhatikan adanya ketidakseimbangan jumlah ketersediaan air diatas,
maka jumlah ketersediaan air dan besarnya kebutuhan akan air perlu dikelola
sedemikian rupa sehingga pemanfaatannya memenuhi kriteria keterpaduan secara
fungsional ruang, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan. Untuk
itu, dibutuhkan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air yang
memadai untuk mencapai pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan berdasarkan
strategi pemanfaatan ruang yang banyak ditentukan oleh karakteristik sumber
daya air.Menurut Bisri (2009) beberapa faktor yang berkaitan dengan
permasalahan sumber daya air di Indonesia, antara lain adalah :
- Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan dalam
perspektif ruang dan waktu.Indonesia yang terletak di darah tropis
merupakan negara kelima terbesar di dunia dalam hal ketersediaan air.
Namun, secara alamiah Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi
kebutuhan air karena distribusi yang tidak merata baik secara spasial
maupun waktu, sehingga air yang dapat disediakan tidak selalu sesuai
dengan kebutuhan, baik dalam perspektif jumlah maupun mutu. Ketersediaan
air yang sangat melimpah pada musim hujan, yang selain menimbulkan
manfaat, pada saat yang sama juga menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan
berupa banjir. Sedangkan pada musim kemarau, kelangkaan air telah pula
menimbulkan potensi bahaya kemanusiaan lainnya berupa kekeringan yang
berkepanjangan.
- Meningkatnya ancaman terhadap keberlanjutan daya dukung
sumberdaya air, baik air permukaan maupun ait tanah.Kerusakan lingkungan
yang semakin luas akibat kerusakan hutan secara signifikan telah
menyebabkan penurunan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam menahan
dan menyimpan air.
- Menurunnya kemampuan penyediaan air.Berkembangnya daerah
permukiman dan industri telah menurunkan area resapan air dan mengancam
kapasitas lingkungan dalam menyediakan air. Pada sisi lain, kapasitas
infrastruktur penampang air seperti waduk dan bendungan makin menurun
sebagai akibat meningkatnya sedimentasi, sehingga menurunkan keandalan
penyediaan air untuk irigasi maupun air baku.
- Meningkatnya potensi konflik air. Meningkatnya
persaingan penggunaan air dan penurunan efisiensi penggunaan air salah
satunya disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas
kehidupan masyarakat, jumlah kebutuhan air baku bagi rumah tangga,
permukiman, pertanian maupun industri juga semakin meningkat.
- Kurang optimalnya tingkat layanan jaringan irigasi.
Belum atau tidak berfungsinya jaringan irigasi disebabkan antara lain oleh
belum lengkapnya sistem jaringan, ketidaktersediaan air, belum siapnya
lahan sawah, ketidaksiapan petani penggarap atau terjadinya mutasi lahan.
Selain itu, pada jaringan irigasi yang berfungsi juga mengalami kerusakan
terutama disebabkan oleh rendahnya kualitas operasi dan pemeliharaan
- Makin meluasnya abrasi
pantai. Perubahan lingkungan dan abrasi pantai mengancam
keberadaan air di daerah sekitar pantai. Pada aspek institusi, lemahnya
koordinasi antar instansi dan antar daerah otonom telah menimbulkan pola
pengelolaan sumberdaya air yang tidak efisien.
- Rendahnya kualitas pengelolaan data dan sistem
informasi. Pengelolaan sumberdaya air belum di dukung oleh basis data dan
sistem informasi yang memadai. Kualitas datadan informasi yang dimiliki
belum memenuhi standar yang ditetapkan dan tersedia pada saat diperlukan.
- Kerusakan prasarana sumberdaya air. Indonesia sebagai
negara yang beriklim tropis dan berada di pertemuan beberapa lempeng
daratan dunia mempunyai kerentanan terhadap banjir. Banjir, gempa,
tsunami, tanah longsor dan bencana lainnya hampir setiap tahun selalu
terjadi.
2.5. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
SUMBER DAYA AIR
2.5.1. Arah Kebijakan
Berdasarkan peraturan terkait dan
dokumen-dokumen perencanaan pembangunan nasional, arah kebijakan dalam
pengelolaan sumber daya air sebagai berikut:
- Mewujudkan sinergi dan mencegah konflik antar wilayah,
antar sektor, dan antar generasi dalam rangka memperkokoh ketahanan
nasional, persatuan, dan kesatuan bangsa.
- Mendorong proses pengelolaan sumberdaya air yang terpadu
antar sektor dan antar wilayah yang terkait di pusat, propinsi,
kabupaten/kota dan wilayah sungai.
- Menyeimbangkan upaya konservasi dan pendayagunaan
sumberdaya air agar terwujud kemanfaatan air yang berkelanjutan bagi
kesejahteraan seluruh rakyat baik pada generasi sekarang maupun akan
dating
- Menyeimbangkan fungsi sosial dan nilai ekonomi air untuk
menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu akan air dan
pendayagunaan air sebagai sumberdaya ekonomi yang memberikan nilai tambah
optimal dengan memperhatikan biaya pelestarian dan pemeliharaannya.
- Melaksanakan pengaturan sumber
daya air secara bijaksana agar pengelolaan sumber daya dapat
diselenggarakan seimbang dan terpadu.
- Mengembangkan sistem pembiayaan pengelolaan sumberdaya
air yang mempertimbangkan prinsip cost recovery dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat.
- Mengembangkan sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya air
yangmembuka akses partisipasi masyarakat serta mewujudkan pemisahan fungsi
pengatur (regulator) dan fungsi pengelola (operator).
2.5.2. Pembiayaan Pembangunan
Sumber Daya Air
Dana infrastruktur sumber daya air
dianggarkan di tingkat pemerintah pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan di tingkat daerah melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Penganggaran di tingkat pusat dilakukan melalui
koordinasi antara lembaga-lembaga yang melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) dalam mengembangkan Rencana Kerja Pemerintah tahunan.
APBN dapat bersumber dari mata uang lokal, pinjaman, dan hibah dari
Negara/lembaga donor.Penganggaran di tingkat daerah prosesnya sama dengan
proses penganggaran di tingkat pusat. Sumber untuk Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD) berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pinjaman atau hibah
yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu,
anggaran untuk Pemerintah Daerah dapat berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU),
Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang dilaksanakan
berdasarkan undang-undang yang berlaku.
2.5.3. Pembangunan
Infrastruktur Sumber Daya Air Yang Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan sangat
memperhatikan optimalisasi manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia
dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam
untuk menopangnya.Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini
tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.Tujuan
pembangunan berkelanjutan yang bermutu adalah tercapainya standar kesejahteraan
hidup manusia yang layak, sehngga tercapai taraf kesejahteraan masyarakat
secara menyeluruh. Taraf kesejahteraan ini diusahakan dicapai dengan menjaga
kelestarian lingkungan alam serta tetap tersediannya sumber daya yang
diperlukan. Salah satu konsep terkait dengan pembangunan yang memperhatikan
dampak terkecil dari kerusakan lingkungan tetapi menghasilkan manfaat yang
optimal adalah kosep Eco-Efficiency.
a. Konsep Eco- Efficiency
Eco-efficiency untuk pertama kalinya
dipromosikan dalam The World Business Council on Sustainable
Development (WBCSD) sebagai konsep bisnis untuk memperbaiki kinerja
ekonomi dan kondisi lingkungan pada setiap perusahaan.Eco-efficiency telah
dipertimbangkan dengan memperhitungkan penghematan sumber daya dan pencegahan
polusi dari industri manufaktur sebagai pemicu untuk inovasi dan daya saing di
semua jenis perusahaan. Pasar uang juga mulai mengenali nilai eco-efficiency karena
banyak perusahaan yang menerapkan eco-efficiency dapat
menghasilkan performa yang lebih baik secara finansial.Menurut Tamlyn,
pengertian eco-efficiency perlu memperhatikan dampak
lingkungan meliputi pertimbangan ekologi dan ekonomi yang merupakan strategi
untuk mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan nilai produksi. Dengan
mempertimbangkan hal-hal tersebut maka akan terdapat upaya untuk mengurangi
dampak lingkungan namun dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun hal yang
penting untuk dicatat adalah terjadinya hubungan yang memberikan peluang untuk
saling berubah secara posistif antara satu dengan yang lainnya.WBCSD telah
mengidentifikasi 7 (tujuh) elemen yang dapat digunakan dalam menjalankan bisnis
perusahaan untuk meningkatkan eko-efisiensi proses bisnisnya yaitu: 1) mengurangi
penggunaan bahan baku; 2) mengurangi penggunaan energi; 3) mengurangi limbah
beracun dari hasil produksi; 4) meningkatkan kemampuan daur ulang; 5)
memaksimalkan penggunaan energi terbarukan; 6) memperpanjang daya tahan produk;
dan 7) meningkatkan intensitas layanan.Indikator eco-efficiency pada
tingkat penrusahaan dapat diterapkan untuk mengukur seberapa besar tingkat
efisiensi sumberdaya yang digunakan dalam suatu usaha. Misalnya seberapa besar
sumber daya energi, air dan bahan baku utama yang digunakan untuk
mentransformasikan menjadi produk yang layak jual. WBCSD menyarankan agar
menggunakan ratio antara nilai produk atau jasa per pengaruh lingkungan. Dari
pernyataan WBCSD tersebut selanjutanya oleh Fuse, Horikoshi, Y.Kumai dan
Taniguchi, dalam penerapannya disebut sebagai faktor eco-efficiency yang dapat
diformulasikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:
b. Keterkaitan Eco-Efficiency dengan Infrastruktur Sumber Daya Air
Eco-efficient dalam
pembangunan infrastruktur sumber daya air merupakan upaya untuk mengurangi
dampak negative terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan konstruksi,
dalam hal ini adalah konstruksi infrastruktur sumber daya air yang memiliki
dampak signifikan terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam penerapan eco-efficiency,
bahan baku yang digunakan perlu mempertimbangkan berasal dari dalam negeri. Hal
ini akan mengurangi biaya pengiriman bahan baku sehingga akan lebih efisien
dalam penggunaan bahan bakar, yang pada akhirnya dapat mengurangi emisi karbon.
Pemanfaatan bahan bangunan dan teknologi ramah lingkungan perlu
disosialisasikan dan dilaksanakan secara optimal untuk mengurangi dampak
kerusakan ekologis dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air, serta
operasi dan pemeliharaannya.
c. Penerapan Eco-Efficiency dalam Pembangunan Infrastruktur Sumber Daya Air
alam
rangka penerapan konsep eco-efficiency dalam pembangunan
infrastruktur sumber daya air, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya
yang dijelaskan di bawah ini:
2.6. KONSERVASI SUMBER DAYA AIR
Konsep dasar
konservasi air adalah jangan membang-buang sumberdaya air. Pada awalnya
konservasi air diartikan sebagai menyimpan air dan menggunakannya untuk
keperluan yang produktif di kemudian hari. Konsep ini disebut konservasi segi
suplai. Perkembangan selanjutnya konservasi lebih mengarah kepada pengurangan
dan pengefisienan penggunaan air dan dikenal sebagai konservasi sisi
kebutuhan.Konservasi air yang baik merupakan gabungan dari kedua konsep
tersebut, yaitu menyimpan air dikala berlebihan dan menggunakannya sesedikit
mungkin untuk keprluan tertentu yang produktif. Sehingga konservasi air
domestik berarti menggunakan air sesedikit mungkin untuk mandi, mencuci,
menggelontor toilet, dan penggunaan-penggunaan rumah tangga lainnya. Konservasi
air industri berarti pemakaian air sesedikit mungkin untuk menghasilkan suatu
produk. Konservasi air pertanian pada dasarnya berarti penggunaan air sesdikit
mungkin untuk menghasilkan hasil pertanian yang sebanyak-banyaknya.Konservasi
air dapat dilakukan dengan cara : 1). meningkatkan pemanfaatan air permukaan
dan air tanah, 2). Meningkatkan efisiensi air irigasi dan 3) menjaga kualitas
air sesuai dengan peruntukannya.Konservasi sumber daya air dilaksanakan
oleh Pemerintah Indonesia dilatarbelakangi pada beberapa hal sebagai berikut:
- Perlunya
keseimbangan kebutuhan air saat ini dan di masa mendatang
- Penggunaan
persediaan air yang ditampung pada saat musim hujan untuk digunakan pada
musim kemarau
- Meningkatkan
ketersediaan air tanah
- Perbandingan
infrastruktur skala besar dengan infrastruktur skala kecil
- Kebijakan
Pemerintah Indonesia: peningkatan embung yang dikelola oleh petani di
perdesaan dan daerah pertanian.
Berdasarkan pengalaman, Pemerintah
Indonesia saat ini mencoba untuk meminimalkan dampak pembangunan infrastruktur
sumber daya air melalui pembangunan skala mikro yang meningkatkan partisipasi masyarakat
untuk mendukung konsep ramah lingkungan. Dengan partisipasi masyarakat, biaya
operasi dan pemeliharaan dapat lebih efisien dan anggaran dapat dikurangi.
Perbandingan dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air ditampilkan dalam
tabel berikut.
Tabel 1: Perbandingan Bendungan dan Embung
Kriteria
|
Bendungand
|
Field
Reservoir (Embung)
|
Fungsi
|
Jangka Panjang
|
Jangka Pendek
|
Investasi
|
Tinggi
|
Rendah/Moderat
|
Partisipasi Masyarakat
|
Rendah
|
Tinggi
|
Dampak Sosial
|
Tinggi
|
Rendah/Moderat
|
Kapasitas
|
Besar
|
Kecil/Medium
|
Dampak Lingkungan
|
Resiko Tinggi
|
Ramah Lingkungan
|
Sebagai tambahan pengembangan waduk dan
embung, pemerintah juga mendorong konservasi sumber daya air lainnya yang
memberikan lebih banyak pada peningkatan air tanah dan penguranan limpasan
air permukaan. Konservasi sumber daya air yang diperkenalkan oleh Handojo
(2008) dapat dibagi menjadi konservasi di hulu, tengah dan hilir sungai
wilayah.
a. Daerah Hulu (Parit resapan)
- Parit resapan merupakan penampungan air sementara untuk
menampung limpasan air permukaan supaya terserap ke dalam tanah.
- Fungsi dari parit resapan tersebut adalah untuk
mengurangi air limpasan, menyaring polutan, dan meningkatkan pengisian
ulang air tanah.
- Parit resapan dibuat dengan kedalaman kurang dari 1 m
dan lebar 80 cm. Parit dapat diisi dengan kerikil atau dikominasikan
dengan pipa.
b. Daerah Tengah (Embung resapan)
- Membuat embung resapan: efektif dengan pendekatan
keteknikan yang ringan, berdasarkan pada prose salami untuk
mengantisipasi banjir dan kekeringan
- Menyediakan
waktu untuk air dapat terserap
- Menampung air
hujan yang dapat digunakan saat musim kemarau
- Meningkatkan
kualitas air
c. Daerah hilir (Sumur resapan)
- Membangun sumur resapan yang menjadi syarat dalam izim
membangun bangunan khususnya di Provinsi DKI Jakarta.
- Meningkatkan
pengisian kembali air tanah.
- Sebagai upaya untuk mengatasi ekstrasi air tanah
yang akan mengakibatkan penurunan tanah.
- Berkontribusi
dalam mengurangi limpasan air permukaan.
1) Pengendalian Banjir melalui Biopori
Biopori merupakan
metode penyerapan air yang berfungsi untuk mengurangi dampak banjir dengan
meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah. Metode ini dikembangkan oleh Kamir
R Brata, peneliti dari Institut Pertanian Bogor.Konsep Biopori : Biopori adalah
lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk karena adanya berbagai akitivitas
organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan organisme
tanah lainnya. Dengan adanya aktivitas tersebut maka akan terbentuk
lubang-lubang yang akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Bila
lubang-lubang seperti ini dapat dibuat dengan jumlah banyak, maka kemampuan
dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan diharapkan semakin meningkat.
Meningkatnya kemampuan tanah dalam meresapkan air akan memperkecil peluang
terjadinya aliran air di permukaan tanah.Penambahan jumlah biopori tersebut
dapat dilakukan dengan membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Lubang-lubang
tersebut selanjutnya diisi bahan organik, seperti sampah-sampah organik rumah
tangga, potongan rumput, dan vegatasi sejenisnya. Bahan organik ini dapat
meningkatkan aktivitas organiseme dalam tanah sehingga akan semakin banyak
biopori yang terbentuk.
1. Dampak dari biopori
terhadap lingkungan dapat dijelaskan sebagai berikut: Meningkatkan Daya Resapan
Air. Dengan menggungakan lubang resapan biopori diharapkan dapat menambah
bidang resapan air sebesar luas dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang
dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan
bertambah sebanyak 3.140 cm2 atau hampir 1/3 m2.
Dengan adanya aktivitas organisme tanah seperti cacing tanah pada lubang
resapan, maka rongga pada tanah akan terbentuk dan tetap terbuka sehingga dapat
melewatkan air untuk terserap ke dalam tanah. Dengan demikian kombinasi antara
luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan
meningkatkan kemampuan dalam meresapkan air.
2. Mengubah Sampah
Organik Menjadi Kompos Lubang resapan biopori diaktifkan dengan memberikan
sampah organik kedalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi
organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah
yang telah didekompoisi ini dikenal sebagai kompos.. Dengan melalui proses
seperti itu maka lubang resapan biopori selain berfungsi sebagai bidang resapan
air juga sekaligus berfungsi sebagai pembuat kompos.
3. Memanfaatkan
Organisme Tanah dan atau Akar Tanaman Seperti disebutkan di atas, lubang
resapan biopori diaktikan oleh organisme tanah. Aktivitas organisme tanah dan
perakaran tanaman selanjutnya akan membuat rongga-rongga di dalam tanah yang
akan dijadikan saluran air untuk meresap ke dalam tanah. Dampak positih yang
dihasilkan terhadap lingkungan adalah mengurangi limpasan air permukaan dan
dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia karena biopri dapat menghasilkan pupuk
organic (kompos).
III. PENUTUPA.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat di tarik dari
pembahasan di muka tadi bahwasanya pembangunan adalah suatu kegiatan yang
bertujuan untuk merubah kondisi lama menjadi kondisi yang baru dengan maksud
untuk melakukan pengembangan dengan memanfaatkan kondisi geologi secara fisik
yang juga memanfaatkan sumber daya alam, kegiatan tersebut berlangsung di atas permukaan
bumi.Sumberdaya air dapat terkena dampak dari pembangunan itu sendiri. Perubahan
kondisi lingkungan yang diakibatkan oleh pembangunan dapat berdampak pada sumberdaya
air baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Secara umum masalah pengelolaan
sumberdaya air dapat dilihat dari kelemahan mempertahankan sasaran manfaat
pengelolaan sumberdaya air dalam hal pengendalian banjir dan penyediaan
air baku bagi kegiatan domestik, municipal, dan industry.Konsep
dasar konservasi air adalah jangan membang-buang sumberdaya air. Pada awalnya
konservasi air diartikan sebagai menyimpan air dan menggunakannya untuk
keperluan yang produktif di kemudian hari. Konsep ini disebut konservasi segi
suplai. Perkembangan selanjutnya konservasi lebih mengarah kepada pengurangan
dan pengefisienan penggunaan air dan dikenal sebagai konservasi sisi kebutuhan.
Infrastruktur dan dampaknya terhadap lingkungan adalah
konsumsi terhadap sumberdaya (energi, air,bahan dan lahan) selama konstruksi
dan operasi. Pengurangan emisi sebagai limbah dari sampah, gas rumah kaca, dan
sebagainya perlu dipertimbangkan untuk menciptakan pembangunan yang
berkelanjutan.Dalam pembangunan infrastruktur sumber daya air, pemerintah
sebagai regulator perlu mensosialisasikan pentingnya pelaksanaan pembangunan
dengan mempertimbangkan faktor lingkungan sehingga dapat tercapai efisiensi
baik dari sisi ekonomi maupun ekologi. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat
eskalasi harga minyak dunia akan mempengaruhi harga bahan bangunan. Di sisi lain,
kekhawatiran terhadap peningkatan limbah material bangunan sejalan dengan
pemahaman masyarakat mengenai pembangunan berbasis lingkungan. Pada akhirnya,
pelaksanaan konstruksi perlu menekan sebanyak mungkin efek terhadap polusi air,
udara, dan suara.
- DAFTAR PUSTAKA
- Azdan, M. Donny, Ir, MA., MS., Ph.D. Perubahan Paradigma
Pembangunan Sumber Daya Air dan Irigasi, 2008
- Bappenas. (2004). Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) 2004 – 2009. Diperoleh dari www.bappenas.go.id.
- Bappenas. (2005). Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) 2005 – 2025. Diperoleh dari www.bappenas.go.id.
- Bisri,
M. 2009. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Penerbit CV. Asrori Malang.
Malang
- BFF (2008). Ecological Footprint. Retrieved
October 2008, Diperoleh dari http://www.bestfootforward.com/ecological_footprint
- Biopori (2007). Desain dan Konsep Lubang Resapan
Biopori. Diperoleh September 2008, dari www.biopori.com
- Handojo, R. (2008). Konsep dan Pengembangan Eco
Efficient dalam Pembangunan Infrastruktur. Catatan perkuliahan.
Fakultas Teknis Sipil dan Lingkungan, Institup Teknologi Bandung.
- Kakiangsa (2008). Development of Micro Hydro
as an Alternative Energy in Remote Area. Diperoleh September
2008, dariwww.kakiangsa.wordpress.com