Tugas
Mata Kuliah “ Silvikultur
Intensif”
(Sejarah Perkembangan Sistem
Silvikultur Di Indonesia)
O
l e h
YULIANUS D. KOMUL
PRODI MANAJEMEN HUTAN
PPS UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015
I.
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Negara Indonesia yang terletak di daerah
tropika mempunyai kekayaan alam yang berlimpah ruah dan beraneka ragam. Salah
satu kekayaan alam Indonesia ini adalah mempunyai berbagai ekosistem hutan yang
tersebar dari tepi laut sampai dengan di puncak gunung beserta jenis-jenis
kegiatan kehutanannya.
Lahirnya peraturan pemerintah No. 21
tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam
rangka pelaksanaan undang undang no. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan, Undang2 no 1 tahun 1967 tentang penanaman modal
asing dan undang-undang no. 6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri.
Dalam peraturan pemerintah No. 21 tahun
1970 dinyatakan bahwa Hak Pengusahaan Hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan
didalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan2 penebangan kayu,
permudaan dan pemeliharaan hutan, pengelolaan dan pemasaran hasil hutan sesuai
dengan rencana karya pengusahaan hutan menurut ketentuan2 yang
berlaku serta berdasarkan asas kelestarian hutan dan asas perusahaan.
Merosotnya luas dan kualita sumberdaya
hutan baik karena Illegal Logging, Perladangan, Illegal Mining, Okupasi
masyarakat dan kebakaran hutan, menyebabkan terganggunya cyclus2
pendukung kehidupan (Siklus Energi, siklus O2 dan Co2
Siklus Hidrologi dan Siklus Nitrogen) yang dapat mengakibatkan
kelestarian Ekosistem hutan (Sustained Forest Management) yang diharapkan
tidak akan dapat dicapai.
Ekosistem hutan juga berfungsi sebagai
tempat hidup dan mencari makan Masyarakat di sekitar hutan (local
people), habitat berbagai jenis satwa liar dan tumbuh2an, konservasi
biodiversity, konservasi plasma nutfah, Hidro-orologi dan perlindungan alam
lingkungan.
Eforia reformasi 1998 dan penebangan liar
(illegal Loging) sampai saat ini menyebabkan degradasi pada sumber daya hutan,
sasaran penabangan liar (illegal Loging) bukan hanya pada kawasan hutan
produksi saja, tetapi sudah masuk kedalam kawasan konservasi (taman nasional,
hutan lindung, dan kawasan konservasi lainnya).
Areal Hutan Produksi pada IUPHHK terfragmentasi
untuk berbagai kepentingan seperti pertambangan, perkebunan, okupasi masyarakat
dan pemekaran wilayah yang demikian cepatnya di Indonesia. Fragmentasi habitat
pada areal IUPHHK membutuhkan adanya fleksibilitas pengelolaan yang dapat
menyesuaikan dengan kondisi hutan serta berbagai tuntutan terhadap hutan
tersebut.
2.1. Pengertian
Silvikultur
Silvikultur adalah seni dan ilmu
membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat
optimal. Menurut PPNomor 6 tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana PengelolaanHutan serta Pemanfaatan
Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari
memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanamandan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat
pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap kegiatan
penanaman/pengayaan (enrichment planting ), pemangkasan ( pruning ), penjarangan (thinning), siklus tebang,
rotasi tebang serta informasi silvikultur
jenis (Pasaribu2008)
Silvikultur adalah ilmu
dan seni membangun dan memelihara hutan lewat pengetahuan dasar silvika. Silvika adalah cabang ilmu
biologi yang mempelajari sifat-sifat ekologi individu pohon. Silvika
menjadi landasan bagi tindakan silvikultur terhadap hutan. Tindakan
silvikultur tersebut dengan harapan agar hutan yang bersangkutan dapat
memenuhi tujuan khusus yang telah dirancang dan disepakati untuk dilaksanakan.
Dalam merancang tindakan silvikultur, ahli silvikultur mempertimbangkan atribut
ekologi, ekonomi, sosial dan administrasi serta manfaat yang ingin dicapai agar
hutan berfungsi secara lestari dan optimal (Soekotjo, 2009).
Silvikultur juga sering
dinamakan ekologi terapan.
Penamaan tersebut atas dasar bahwa tindakan silvikultur merupakan perwujudan
pengelolaan ekosistem. Dalam kaitan ini mudah dimengerti bila tindakan
silvikultur berkaitan dengan upaya mengendalian struktur, komposisi,
pertumbuhan species target untuk meningkatkan manfaat hutan. Tindakan
silvikultur bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hutan, sehingga hutan
yang produktivitasnya rendah menjadi hutan yang lebih produktif.
Menurut Society of
American Foresters (1950) Silvikultur diartikan sebagai :
1)
The
art of producing and tending a forest
2)
The
application of knowledge of silvics in the treatment of forest
3)
The
theory and practice of controlling forest establishment, composition and growth
Secara garis besar batasan
silvikultur menurut Asosiasi Ahli Kehutanan Amerika (Nyland, 2002) adalah :
- Seni untuk membangun dan memelihara tegakan hutan dengan landasan ilmiah untuk mengendalikan pemapanan tegakan, komposisi dan pertumbuhan
- Menggunakan berbagai perlakuan agar hutan menjadi lebih produktif, lebih bermanfaat bagi pengusahaan hutan. Bermanfaat tidak hanya bagi pengusaha hutan tetapi juga bagi masyarakat sekitar hutan dan masyarakat keseluruhan serta negara, baik generasi masa kini maupun generasi mendatang, secara lestari.
- Mengintegrasikan konsep ekologi dan ekonomi pada perlakuan yang sangat tepat untuk memenuhi tujuan pengelolaan hutan.
Oldeman (1990)
mendeskripsikan silvikultur adalah ilmu pengetahuan kehutanan yang dirancang
untuk mengendalikan proses yang terjadi di dalam ekosistem hutan, sedemikian
rupa sehingga urutan perkembangan ekosistem hutan mencapai peluang tertinggi
untuk kelangsungan hidup dari ekosistem hutan yang bersangkutan.
Silvikultur meliputi metode-metode untuk membangun
dan memelihara komunitas pohon-pohon dan vegetasi lain yang mempunyai nilai
bagi manusia. Nila-nilai tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung berasal dari pohon itu sendiri, tanaman lain, binatang liar, dan
mineral yang ditemukan di areal hutan dan juga hutan merupakan sumber
keuntungan yang tak ternilai dimana manusia dapat melakukan rekreasi dan
kegiatan lain. Silvikultur juga dalam jangka panjang dapat secara terus
menerus memelihara fungsi penting ekologi dan kesehatan serta produktivitas
ekosistem hutan (Nyland, 1996).
Sementara penulis, seperti Baker (1950) dan Hawley
and Smith (1962), membagi ilmu silvikultur atas dua bagian, yaitu silvik dan
silvikultur. Demikian pula pembagian tersebut dapat diartikan sebagai dasar
teori silvik dan penerapan praktek silvikultur. Tanpa memahami dasar teori,
memang sulit untuk mengembangkan penerapan sivikultur di lapangan. Silvik dapat
menjawab berbagai pertanyaan berikut: mengapa suatu jenis pohon dipilih untuk
ditanam di suatu tapak tertentu? Mengapa ditanam secara murni atau dicampur
dengan jenis lain? Mengapa ditanam dengan cara vegetatif atau generatif?
Mengapa diperlukan simbiosa dengan jamur pembentuk mikoriza ? Mengapa untuk
keperluan reboisasi tanah kritis diperlukan jenis pohon pionir atau pelopor?
Dan sebagainya.
2.2. Pengertian
Sistem Silvikultur
Troup (1928)
mendefinisikan sistem silvikultur adalah suatu proses yang mencakup tiga tema
utama, yaitu
- metode permudaan,
- metoda pemanenan hasil hutan
- metoda mengatur tegakan hutan secara keseluruhan, dengan mengacu pada silvikultur, pertimbangan proteksi dan pemanfaatan hasil secara ekonomis.
Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan
berencana dari pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, dan
pemeliharaan tegakan hutanguna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil
hutan lainnya (Sutisna, 2001). Sedangkan teknik silvikultur adalah penggunaan
teknik-teknik atau perlakuan terhadap hutan untuk mempertahankan dan
meningkatkan produktivitas hutan (Elias, 2009). Teknik silvikultur menurut
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 antara lain berupa
pemilihan jenis unggul, pemuliaan pohon,penyediaan bibit, manipulasi
lingkungan, penanaman, dan pemeliharaan
Di dalam “The
Silvicultural Systems Guidebook (1995) “Sistem Silvikultur” didefinisikan
sebagai berikut: A silvicultural system is a planned program of
treatments throughout the life of the stand to achieve stand structural
objectives based on integrated resource management goals. A silvicultural
system includes harvesting, regeneration and stand-tending methods or phases.
It covers all activities for the entire length of a rotation or cutting. cycle.
Matthews (1989) mendefinisikan sistem Silvikultur “ as the process by which the
crops constituting a forest are tended, removed, and replaced by new crops,
resulting in the production of stand of distinctive form”.
Sistem
Silvikultur terbangun oleh tiga ide utama (Matthews, 1989).:
a.
Metoda regenerasi individu pohon dalam hutan
b.
Bentuk tegakan yang dihasilkan
Sistem Silvikultur
mengandung tiga ide utama (Matthews, 1989 dalam “Sistem Silvikultur” oleh Dr.
Sri Wilarso).:
a.
Metoda
regenerasi individu pohon dalam hutan
b.
Bentuk
tegakan yang dihasilkan
c.
Susunan/komposisi
tegakan di dalam hutan secara keseluruhan dengan melihat
d.
pertimbangan
pada silvikulturnya, perlindungannya dan efisiensi pemanenannya.
Sistem Silvikultur
adalah : Suatu proses dimana pohon-pohon di dalam hutan ditebang, dan diganti
dengan pohon baru yang akan menghasilkan bentuk tegakan baru yang berbeda
dengan tegakan sebelumnya. (Matthews,1989 dalam “Sistem Silvikultur” oleh Dr.
Sri Wilarso) Rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang
meliputi; Penebangan, Peremajaan dan Pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin
kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. (Departemen Kehutanan,1990
dalam “Sistem Silvikultur” oleh Dr. Sri Wilarso)
Susunan/komposisi tegakan di dalam hutan secara keseluruhan dengan melihat
pertimbangan pada silvikulturnya, perlindungannya dan efisiensi pemanenannya Menurut
Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, sistem silvikultur adalah
sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya
hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam
rangka pengelolaan hutan lestari atau sistem teknik bercocok tanaman dan
memanen.
Sedangkan Departemen Kehutanan (1989)
mendefinisikan Sistem Silvikultur sebagai Rangkaian kegiatan berencana mengenai
pengelolaan hutan yang meliputi; Penebangan, Peremajaan dan Pemeliharaan
tegakan hutan guna menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya,
kemudian melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 150/kpts-II/2003,
definisi praktis Sistem Silvikultur adalah sistem Budidaya hutan atau teknik
bercocok tanam hutan yang dimualai dari pemilihan bibit, pembuatan tanaman,
sampai pada pemanenan atau penebangannya.
Selain Itu Sistem
Silvikultur yang dilaksanakan di lapangan ada 4 sistem, yaitu:
a)
Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia
1.
Prinsip-prinsip yang harus dipahami:
a.
Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur
b.
Teknik pemanenan dengan tebang pilih
c.
Meningkatkan riap sebagai aset
d.
Mempertahankan keanekaragaman hayati
2.
Tujuan dan sasarannya:
a. Tujuan
TPTI adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui
tebang pilih dan pembinaan tegakan tinggal dalam rangka memperoleh panenan yang
lestari.
b.
Sasaran TPTI adalah pada hutan alam produksi di areal IUPHHK
atau KPHP
3.
Beberapa pengertian yang harus dipahami:
a.
Pemanenan tebang pilih adalah tebangan berdasarkan
limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan
keanekaragaman hayati setempat.
b.
Pembinaan tegakan tinggal adalah kegiatan yang
dikerjakan setelah kegiatan tebang pilih meliputi perapihan, pembebasan,
pengayaan, pemeliharaan.
b. Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
1. Prinsip-prinsip yang
harus dipahami:
a.
Sistem silvikultur untuk tegakan tidak seumur.
b.
Teknik pemanenan dengan tebang pilih.
c.
Meningkatkan riap.
d.
Mempertahankan keanekaragaman hayati.
e.
Menciptakan ruang tumbuh optimal bagi tanaman.
f.
Penanaman jenis unggulan lokal dalam jalur.
c.
Sistem Silvikultur Tebang
Pilih Tanam Jalur
1.
Tujuan dan sasarannya:
a. Tujuan
TPTJ adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan tidak seumur melalui
tebang pilih dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk meningkatkan riap
dalam rangka memperoleh panenan yang lestari.
b. Sasaran
TPTJ adalah pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.
2.
Beberapa pengertian yang harus dipahami:
a.
Pemanenan tebang pilih adalah tebangan berdasarkan
limit diameter tertentu pada jenis-jenis niagawi dengan tetap memperhatikan
keanekaragaman hayati setempat.
b.
Penanaman dalam jalur adalah kegiatan menanam dalam
rangka pemanfaatan ruang tumbuh dengan jenis-jenis tanaman unggulan setempat.
c.
Jalur antara adalah jalur tegakan tinggal yang dibina
dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas dan mempertahankan keanekaragaman
hayati
III.
PEMBAHASAN
3.1.
Sejarah
Perkembangan Sistem Silvikultur di Indonesia.
Pengusahaan hutan di Indonesia dimulai
sejak tahun 1870 yang merupakan tebang pilih dengan limit diameter yang
digunakan 50-60 cm, tanpa adanya perlakuan silvikultur (Soerianegara, 1996).
Panitia Perancang Hutan Industri (PPHI)
yang dibentuk 1953, menyarankan pengusahaan hutan alam di luar jawa dapat
dilakukan penebangan secara selektif dengan sistem tebang pilih dengan
permudaan alam (PPHI, 1958).
Untuk menjaga kelestarian hutan alam
produksi di luar Jawa tebang pilih dapat dilakukan dengan rotasi tebang 60
tahun (Direktorat Pengusahaan Hutan, 1968).
Peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970
tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan menyatakan bahwa
untuk menjamin kelestarian hutan alam di luar Jawa, eksploitasi hutan hanya
dilakukan secara tebang pilih, sedangkan permudaannya dapat dilakukan secara
alam dan buatan.
Surat keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972
tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis
dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman
pengawasannya, menyatakan bahwa Tebang Pilih Indonesia (TPI) adalah suatu
sistim silvikultur yang meliputi cara penebangan dan permudaan hutan yang
merupakan perpaduan antara (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1972) :
1. Tebang dengan batas minimum diameter dari Indonesia (Tebang Pilih
dengan Limit Diameter)
2. Tebang Pilih
Filipina (Selective Logging)
3. Penyempurnaan hutan
dengan penanaman sulaman (Enrichment Planting.
4. Pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu.
Pohon inti adalah pohon-pohon yang akan membentuk tegakan
utama pada rotasi tebang berikutmya Jadi pada rotasi tebang berikutnya,
pohon-pohon intilah yang akan dipungut hasilnya (ditebang). Pohon inti juga
berfungsi untuk pohon biji (Seed Tree) yang menghasilkan biji untuk regenerasi
hutan. Tim penyusun Tebang Pilih Indonesia telah mengantisipasi bervariasinya
hutan pada hutan-hutan alam di Indonesia khususnya pada hutan Dipterocarpaceae
campuran yang kaya akan berbagai jenis pohon. Surat Keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35 Tahun 1972 telah mengantisipasi
kemungkinan kurangnya pohon inti karena hutan-hutan kita tidak merata dan
bervariasi pada berbagai daerah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas
Diameter yang Boleh Ditebang Sesuai SK Dirjen Kehutanan No. 35/ Kpts / DD / I
/1972.
Batas
Diameter ( cm )
|
Rotasi Tebang
(tahun)
|
Jumlah Pohon Inti
(batang)
|
Diameter Pohon Inti
(cm)
|
50
|
35
|
25
|
> 35
|
40
|
45
|
25
|
> 35
|
30
|
55
|
40
|
> 20
|
Keterangan : Riap diameter 1 cm/tahun
Pada Tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa bila batas diameter (limit diameter) yang
dapat ditebang 50 cm keatas, maka rotasi tebang yang digunakan 35 tahun dengan jumlah pohon inti yang ditinggalkan
adalah 25 batang dengan diameter pohon inti 35 cm keatas.
Alternatif kedua adalah batas diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 40 cm
keatas, maka rotasi tebang dinaikkan menjadi 45 tahun dengan jumlah pohon inti yang harus
ditinggalkan adalah 25 batang per ha dari diameter 35 cm keatas. Alternatif ketiga adalah batas
diameter yang boleh ditebang diturunkan menjadi 30 cm keatas, maka
rotasi tebang dinaikkan menjadi 55 tahun dengan jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan adalah 40 batang per ha
dari diameter 20 cm keatas.
Pada Tabel 1 diatas TPI telah memikirkan bervariasinya
hutan kita sehingga mengajukan tiga alternatif untuk memudahkan pelaksanaannya
di lapangan.
Pada waktu itu rotasi tebang yang digunakan di Indonesia
khususnya untuk penentuan jatah penebangan tahunan (JPT) adalah 35 tahun dengan
riap diameter 1 cm/tahun sehingga alternatif pertamalah yang dianut.
Pada saat pelaksanaan SK Dirjen Nomor 35 diatas yang jadi
permasalahan penerapannya pada hutan-hutan tropika basah kita adalah
bervariasinya hutan-hutan Alam sehingga terbentur pada kurangnya jumlah pohon
inti pada bagian-bagian tertentu pada Hutan-hutan Alam Produksi di
Indonesia.
Oleh karena itu Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi pada tahun 1980 mengadakan penyempurnaan Pedoman Tebang Pilih
Indonesia sebagai berikut.
Tabel 2. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas
Diameter yang Boleh
Ditebang (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Tahun 1980)
No
|
Batas Diameter
Tebangan (cm)
|
Rotasi Tebang
(tahun)
|
Jumlah Pohon Inti
(batang)
|
Diameter Pohon Inti
(cm)
|
1.
|
Hutan alam
campuran
|
|||
50
|
35
|
25
|
> 20
|
|
2.
|
Hutan Eboni
Campuran
|
|||
50
|
45
|
16
|
> 20
|
|
3.
|
Hutan Ramin
Campuran
|
|||
35
|
35
|
15
|
> 20
|
Pada Tabel penyempurnaan pedoman TPI diatas telah
terlihat bahwa Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi pada saat itu mencoba
untuk memecahkan masalah kurangnya jumlah
pohon inti yang dapat ditinggalkan pada areal bekas tebangan pada
hutan-hutan tropika basah Indonesia yaitu dengan mengemukakan dua tipe vegetasi
lainnya selain hutan alam campuran yaitu hutan eboni campuran dan hutan ramin
campuran. Pada hutan alam campuran diameter pohon inti ditetapkan menjadi 20 cm
keatas dengan jumlah pohon inti 25 batang per ha (tidak 40 batang per ha lagi
seperti Tabel 1 sebelumnya).
Rotasi
tebang ditetapkan 35 tahun dan batas diameter yang boleh ditebang adalah 50 cm
keatas dengan riap diameter/tahun tetap yaitu 1 cm/tahun). Dari hasil laporan
pengumpulan data/informasi pelaksanaan TPI, 1987 pada beberapa HPH (Riau : PT.
Silvasaki, Jambi; PT. Hatma Santi, Kalbar; PT. Kayu Lapis Indonesia, Kalsel;
PT. Inhutani II dan PT. Hutan Kintap, Kaltim; PT. Inhutani I, PT.
ITCI dan PT. BFI) yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Departemen Kehutanan, Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada dan
Fakultas Kehutanan IPB dimana penulis termasuk dalam Tim IPB sebagai bahan
untuk Tim Materi Diskusi Penyempurnaan Pedoman TPI, yang dipimpin Komar
Sumarna, MS. (yang waktu itu Direktur Pelestarian Alam, Dirjen PHPA, Dephut)
Pada areal HPH diatas, pada hutan2 bekas tebangan jumlah pohon
inti per ha dari diameter 20 cm keatas cukup yaitu lebih besar dari 25 pohon
per ha demikian pula tingkat permudaan, tiang, pancang dan semai
mencukupi yang berarti kelestarian hutan pada rotasi ke 2 (dua), dst akan
terjamin.
Pada tanggal 18 September 1989 keluar Surat Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang sistim silvikultur pengelolaan
hutan alam produksi di Indonesia, dimana pengelolaan Hutan Produksi di
Indonesia dapat dilakukan dengan sistim silvikultur :
1. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
2. Tebang Habis dengan Permudaan Alam (THPA)
3. Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB)
Pada SK Menteri Nomor 485/1989 tersebut di atas
dikemukakan bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor
35/Kpts/Dj/I/1972 masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
keputusan ini.
Sejak SK Menteri Kehutanan Nomor 485/1989, Direktur
Jenderal Pengusahaan Hutan mengatur lebih lanjut mengenai Pedoman Tebang Pilih
Tanam Indonesia dan Tebang Habis dengan Permudaan Alam. Pedoman Tebang habis
dengan Permudaan Buatan waktu itu diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Sedangkan sebelum keluarnya SK Menteri
Kehutanan Nomor 485/1989, Sistim Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam Produksi di
Indonesia dipegang oleh Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi yang kemudian
menjadi Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan.
SK Menteri Kehutanan No. 485/1989 melahirkan Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tentang Pedoman
Tebang Pilih Tanam Indonesia yang dilengkapi oleh 10 (sepuluh) buah petunjuk
teknis sebagai berikut:
a) Petunjuk Teknis Penataan Areal Kerja
b) Petunjuk Teknis Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
c) Petunjuk Teknis Pembukaan Wilayah Hutan
d) Petunjuk TeknisPenebangan
e) Petunjuk Teknis Inventarisasi Tegakan Tinggal
f) Petunjuk Teknis Pembebasan
g) Petunjuk Teknis Pemeliharaan
h) Petunjuk Teknis Pengadaan Bibit/Persemaian
i) Petunjuk Teknis Penanaman/Pengayaan
j) Petunjuk Teknis Perlindungan
Dari perkembangan sistim silvikultur di Indonesia,
pengelolaan hutan tropika di Indonesia jelas makin lengkap dengan berjalannya
waktu, sehingga pedoman TPTI (1989) dilengkapi oleh 10 (sepuluh) buku petunjuk
teknis yang sebetulnya sangat dibutuhkan oleh pedoman-pedoman TPI sebelumnya.
Sehubungan dengan uraian diatas kita tinjau
jumlah pohon inti menurut Tebang
Pilih Tanam Indonesia, pada tabel 3 berikut:
Tabel 3. Jumlah Pohon Inti yang Harus Ditinggalkan dan Batas Diameter yang Boleh Ditebang (Direktur
Jenderal Pengusahaan Hutan, 1989)
No
|
Batas Diameter
Tebangan (cm)
|
Rotasi Tebang
(tahun)
|
Jml Pohon Inti
(batang/ha)
|
Diameter Pohon Inti
(cm)
|
|
1.
|
Hutan alam campuran
|
||||
50
|
35
|
25
|
KD 20 -
49 cm
KTD > 50
|
||
2.
|
Hutan rawa
Hutan ramin
campuran bila diameter 50 cm keatas tidak cukup : Khusus jenis
ramin
|
||||
35
|
35
|
25
|
> 15
|
||
Pada Tabel 3 diatas dapat dilihat bahwa bila dibandingkan
dengan Tabel 2 mengenai syarat-syarat pelaksanaan TPI (Direktorat Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan, 1980) untuk hutan campuran syarat-syarat pelaksanaannya
sama, hanya untuk pohon inti
terdapat uraian yang lebih rinci dalam TPTI sebagai berikut : bila jenis
komersil ditebang (KD) yang berdiameter 20-49 cm kurang dari 25 pohon/ha dapat
diambilkan dari jenis komersial tidak ditebang (KTD) yang berdiameter 50 cm
keatas. Sedangkan untuk hutan rawa (hutan ramin campuran) khusus untuk jenis
ramin jumlah pohon inti menjadi
25 pohon/ha yang harus ditinggalkan dan diameter pohon inti diturunkan menjadi >
15 cm.
Dari urut-urutan perkembangan diatas terlihat bahwa
pemerintah kita c.q. Departemen Kehutanan telah berusaha untuk melestarikan
hutan tropika basah kita dengan makin sempurnanya Pedoman Tebang Pilih
Indonesia khususnya Tebang Pilih Tanam Indonesia.
a.
Tebang Jalur Tanam Indonesia
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan hutan No.
40/KPTS/IV-BPHH/1993 tanggal 18 Maret 1993. Tentang Pedoman Pelaksanaan Uji
Coba Tebang Jalur dan Tanam Indonesia (TJTI), sbb:
Sasaran lokasi sistem silvikultur tebang jalur diterapkan
pada hutan bekas penebangan Tebang Pilih Tanam Indonesia yang kondisinya telah
rusak, yang rawan terhadap perambahan, yang tidak cocok untuk sistem THPB dan
hutan primer yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan.
Definisi Sistem Silvikultur Tebang Jalur adalah suatu
sistem silvikultur yang dilakukan dengan cara membuka areal selebar tertentu
dalam bentuk jalur dengan menebang pohon yang berdiameter 20 cm keatas
sehingga sinar matahari dapat mencapai permukaan tanah. Kelestarian produksi hutannya didasarkan pada keberhasilan permudaan buatan
atau alam.
1. Tebang Jalur dengan Permudaan Buatan:
a. Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500 ha dan minimum 100
ha, untuk hutan bekas tebangan dan hutan primer.
b. Lebar jalur yang ditebang sebagai perlakuan dalam percobaan tiga macam
terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan lebar jalur yang tidak ditebang 50 m,
100m dan 200 m. Arah jalur penebangan Utara-Selatan.
c. Jenis pohon yang digunakan dalam penanaman adalah jenis pohon meranti lokal
bernilai tinggi yang sudah dikuasai teknologi budidayanya dan benih tersedia,
atau jenis non timber product misalnya Tengkawang, Jelutung dan Damar mata
kucing.
d. Larikan tanaman searah dilakukan pada jalur tebang, larikan tanaman yang
dibersihkan selebar 1 (satu) meter. Jarak antara sumbu larikan dan sumbu
larikan lain 5 m dan pada bagian yang akan dibuat lubang tanam sepanjang
larikan diberi tanda ajir. Jarak antar ajir 5m. Dengan demikian akan diperoleh
jarak tanam 5 x 5 m.
e. Penanaman dilakukan pada permulaan musim hujan satu tahun setelah
penebangan.
f. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) dilakukan 1 (satu) tahun
sebelum penebangan.
g. Pengadaan bibit dilakukan satu tahun sebelum penebangan.
h. Penyulaman Tanaman : Dilakukan 2-3 bulan sesudah penanaman, pada waktu
musim hujan pada tahun pertama dan kedua.
i. Pemeliharaan
2. Tebang Jalur dengan Permudaan Alam :
a. Luas blok areal yang dibutuhkan maksimum 500 ha dan minimum 100
ha, untuk hutan bekas tebangan dan hutan primer.
b. Lebar jalur yang ditebang sebagai perlakuan dalam percobaan tiga macam
terdiri dari 50 m, 100 m, dan 200 m dan lebar jalur yang tidak ditebang 50 m,
100m dan 200 m. Arah jalur memotong arah angin
c. Jenis permudaan alam yang dipelihara dalam jalur bekas tebangan
adalah permudaan alam dari jenis Dipterocarpaceae lokal bernilai tinggi.
d. Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP), dilakukan satu tahun
sebelum penebangan. Tebang Jalur Tanam Indonesia baru taraf uji Coba dan tidak
dilanjutkan.
b.
Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
Sistem silvikultur TPTJ diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun.
625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998, tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih
dan Tanam Jalur dalam pengelolaan hutan produksi, sbb:
a. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur dengan tebang
persiapan dengan menebang pohon pada areal LOA TPTI, dan dilakukan dengan
Tebang Pilih dengan Limit diameter 40 cm diikuti dengan pembuatan jalur
bersih, dengan lebar jalur 3 (tiga) meter dan lebar jalur kotor 22 m. Pada
poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis2 pohon komersial.
Dengan jarak tanam 5 m. Sehingga jarak tanaman menjadi 5 x 25 m.
b. Pengadaan bibit dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan
alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari famili
Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).
Sk Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998,
tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur TPTJ
kepada PT. Sari Bumi Kusuma. Sk Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999, tgl 18
Januari 1999. tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan dengan Sistem Silvikultur
TPTJ kepada PT. Erna DJuliawati.
Pencabutan TPTJ: Kepmenhut No. 10172/Kpts-II/2002 tentang perubahan kepmenhutbun No.
309/kpts-II/1999.
c.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII)
/Silin:
Lahirnya TPTII (Silin) dapat memperkaya khasanah ilmu
silvikultur di Indonesia. Yang ditunggu kelahirannya karena terfragmentasinya
hutan alam primer menjadi berbagai penutupan lahan dan habitat, sebagai akibat
dari penebangan, illegal logging, illegal mining, kebakaran hutan, okupasi
mayarakat dan perladangan liar (Shifting cultifation).
SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005
tanggal 3 Mei 2005, memutuskan pemegang IUPHHK pada hutan alam sebagai
model system silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6
(enam) IUPHHK yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim
(Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar); PT. BFI dan PT. Ikani (Kaltim).
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.
SK. 41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007 tentang Penunjukan Pemegang Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam sebagai Model Pembangunan
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) yang meliputi 25
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam
terdiri dari 8 (delapan) IUPHHK di Kaltim, Kalteng 8 (delapan) IUPHHK, Kalbar 1
(Satu) IUPHHK Sumatera Barat 1 (satu) IUPHHK, Riau 1 (satu) IUPHHK Papua
2 (dua) IUPHHK, Papua Barat 3 (tiga) IUPHHK dan Maluku utara 1(satu)
IUPHHK.
Sistem Silvikultur
Intensif atau Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam
Indonesia Intensif Mendorong
Optimalisasi Produksi Hutan Alam Jakarta, 24 November 2006. Pengelolaan dengan
sistem silvikultur intensif pada IUPHHK-HA/HPH baik dengan sistem tebang pilih
tanam Indonesia Intensif (TPTII) dan atau dengan sistem tebang pilih tanam
jalur intensif (TPTJI) dilakukan pada areal hutan produksi alam yang masih ada
virgin forest, dan areal bekas tebangannya masih baik. Untuk mendorong
tercapainya kondisi hutan yang mampu berfungsi secara optimal, produktif,
berdaya saing, dan dikelola secara efektif dan efisien, sehingga terwujud
kelestarian hutan yang dinamis, Departemen Kehutanan telah menunjuk beberapa
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam
(IUPHHK-HA/HPH) sebagai contoh pembangunan sistem silvikultur intensif
yang disesuaikan dengan ciri setiap lokasi
Sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif
dilakukan melalui rekayasa genetis, rekayasa lingkungan dan perlindungan
tanaman dari hama dan penyakit (pest and desease) diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan kayu Jenis hutan alam khususnya jenis2 pohon dari famili
Dipterocarpaceae, pada masa yad.
TPTII (Silin) merupakan teknik silvikultur yang merupakan
pengembangan dari sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan
Penanaman Pengayaan (Enrichment planting) dari sistem TPTI. Meliputi penebangan
persiapan pada seluruh Blok (petak2 tebang) sesuai RKT Silin tahun
berjalan, penebangan dilakukan dengan limit diameter 40 cm up. Pada LOA
hasil dari tebang persiapan dilakukan tebang jalur bersih selebar 3 meter dan
jalur kotor yang ditinggalkan berupa vegetasi LOA hasil tebang persiapan dengan
lebar 17 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment
Planting) dengan jenis2 unggulan dengan jarak tanam 21/2
m. Sehingga jarak tanam menjadi 21/2 x 20 m2.
Jenis-jenis
pohon dari famili Dipterocarpaceae unggulan yang disarankan dan dapat merupakan
pilihan adalah jenis-jenis pohon hasil uji Jenis dengan teknik Silvikultur sbb:
Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S.
platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp.
(Sukotjo, Subiakto dan Warsito, 2005).
Daur
Ekonomis Jenis jenis unggulan (jenis Target) adalah 30 tahun Tebang Pilih
Indonesia Intensif (Silvikultur Intensif) dapat meningkatkan produksi kayu
hutan alam pada masa yad. Sebaiknya dilaksanakan pada areal hutan bekas illegal
loging dan pada hutan2 rawang pada areal IUPHHK baik di daerah
Lowland maupun di daerah Upland. Seperti yang dilakukan oleh IUPHHK PT. Ikani
yaitu melaksanakan TPTI pada hutan primer dan hasil log dari hutan primer
disisihkan dan digunakan untuk mensubsidi TPTII (Silin) yang dilaksanakan pada
hutan rawang yang potensinya kurang sbb: Tidak melakukan tebang persiapan
pada hutan rawang dan hanya melakukan Penanaman Pengayaan (Enrichment Planting)
dengan jenis2 unggulan pada jalur bersih (lebar 3 m) dan jalur
kotor 17 m.
Pada
hutan alam primer dan areal hutan bekas tebangan (LOA) yang termasuk dalam
katagori Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang potensinya masih baik dan terletak
di daerah hulu sungai pada Ekosistem Daerah Aliran Sungai, sebaiknya diterapkan
sistem TPTI yang menebang pohon secara tebang pilih dengan permudaan alam.
Karena system TPTI yang paling cocok secara ekologi, untuk mempertahankan
fungsi hutan baik hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan.
Kelemahan
sistem TPTII (Silin) yaitu dilaksanakan pada LOA areal bekas tebangan TPTI
dengan tidak memperhatikan siklus tebang yang dipersyaratkan dalam pedoman
TPTI. Siklus tebang dalam TPTI 35 tahun dengan rotasi tebang 70 tahun.
Kelebihan
TPTII (Silin) yaitu Enrichment Planting dengan jenis-jenis unggulan diwajibkan
dilaksanakan segera setelah dilaksanakan penebangan yaitu pada LOA yang
berumur 0 tahun (ET+0) sehingga mudah dikontrol.
Sedangkan
pada TPTI enrichment planting dilaksanakan pada areal LOA yang berumur 3 tahun
(ET+3) dengan permudaan tingkat semai kurang (Penyebaran /Frekuensi < 40%).
Tidak mudah dikontrol.
d.
Multisistem Silvikultur.
Sejak keluarnya Peraturan pemerintah No.
21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan sejak itu HPH mulai beroperasi di Indonesia dan disusul dengan Surat keputusan
Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang
Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis
dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya.
Lokakarya Pembangunan
Timber Estate yang
dilaksanakan 29 – 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto
“Kini Menanam Esok Memanen” merupakan awal dari pembangunan “Hutan Tanaman
Industri” karena padanan bahasa indonesia dari “Timber Estate” pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu
diusulkan menjadi “Hutan Tanaman
Industri (HTI)”.
Lokakarya
Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.
142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri
Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan.
Sampai
dengan saat ini pengelolaan hutan produksi di Indonesia dibawah Direktorat
Jenderal Bina Produksi Kehutanan (Dirjen BPK), yang membawahi Direktorat Bina
Pengembangan Hutan Alam (yang membina IUPHHK HA) dan Direktorat Pembinaan Hutan
Tanaman (yang membina IUPHHK HT/HTI). Dilakukan dengan Monosistem silvikultur.
Solusi
untuk meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya dapat dilakukan dengan
multi usaha dengan penerapan Multisistem Silvikultur.
Sistem silvikultur yang disarankan dapat
digunakan pada penerapan Multisistem silvikultur pada areal hutan
produksi di areal IUPHHK terdiri dari TPTI, TPTII/Silin, THPB, THPB pola Agroforestry:
1. Definisi Sistem
Silvikultur.
Sistem
Silvikultur merupakan salah satu bagian penting (sub sistem) dari sistem
pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL), yang dapat menjamin kelestarian
produksi, ekologi dan dampak positif sosial ekonomi termasuk mempertahankan dan
meningkatkan produktivitas kawasan hutan.
Sistem
silvikultur dapat dibedakan atas: (Manan,1995)
a. Sistem Polycyclic
yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang lebih dari satu kali
selama rotasi.
b. Sistem Monocyclic
yaitu jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali dalam satu rotasi.
Di
Indonesia sistem TPI dan TPTI menggunakan 2 kali siklus tebang selama rotasi 70
tahun (Polycyclic). Sedangkan sistem THPA dan THPB menggunakan sistem
Monocyclic.
2.
Definisi Multisistem Silvikultur:
Menhut: “Multisistem tanaman dan
multi daur pada satu IUPHHK” (ITCIKU, 4 Juni 2008)
Definisi Kerja Multisistem Silvikultur: Multisistem Silvikultur adalah Sistem
pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari Dua atau lebih
Sistim Silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan
multi usaha dengan tujuan : mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan
hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan
produksi.
Sesuai
dengan lokasi IUPHHK pada ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS), baik
Ekosistem hulu, Tengah dan Hilir, areal Hutan produksi pada IUPHHK sudah
terfragmentasi menjadi dua atau lebih tipe penutupan lahan sbb: areal hutan
primer, areal hutan bekas penebangan (LOA), Areal hutan rawang (tidak
produktif) bekas illegal loging, Areal hutan rawang bekas kebakaran, semak
belukar dan padang alang-alang.
Multisistem silvikultur adalah upaya
optimalisasi pemanfaatan areal hutan, sehingga seluruh bagian areal hutan
produksi baik yang berupa hutan alam yang masih potensial maupun hutan yang
sudah rusak dapat dikelola sesuai dengan sistem silvikultur yang tepat.
Pada hutan (alam) produksi yang
masih potensial dapat diterapkan sistem silvikultur TPTI atau TPTJ atau Sysilin
yang disesuaikan dengan keadaan topografi dan tingkat kelerengannya. Pada
areal hutan produksi yang sudah rusak dapat diterapkan sistem silvikultur THPB
dengan menggunakan jenis-jenis yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan atau
cepat tumbuh. Kombinasi beberapa sistem silvikultur ini akan mempunyai beberapa
kelebihan antara lain:
a.
Dengan TPTI,
hutan alam akan menghasilkan berbagai jenis kayu yang mempunyai nilai yang
kompetitif tinggi, dan sangat aman dari aspek ekologis. Produksi TPTI merupakan
hasil yang dapat diperoleh dalam jangka panjang
b.
Dengan TPTJ
atau Sysilin, hutan alam akan menghasilkan kayu lebih produktif dan bernilai
tinggi terutama dari hasil tanaman di jalur antara, dan cukup aman dari aspek
ekologi. Produksi dari TPTJ/TPTII/Sysilin merupakan hasil yang dapat diperoleh
dalam jangka menengah atau sedang.
c.
Dengan THPB,
hutan yang rusak dapat direhabilitasi dan ditingkatkan produktivitasnya.
Produksi dari THPH merupakan hasil yang dapat diperoleh dalam jangka pendek.
d.
Cashflow, dalam
pengelolaan hutan menggunakan multisistem silvikultur akan lebih lancar
sehingga akan lebih menjamin kelayakan usaha dalam bisnis kehutanan.
IV. PENUTUP
ü
Monosistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan
yang ada di lapangan, Pada Hutan2 alam, Hutan Primer dan
LOA pada areal IUPHHK dan hutan tanaman (HTI) terjadi illegal logging dan
tekanan2 untuk penggunaan lain seperti Illegal Mining, Perkebunan
dan Okupasi Masyarakat. Areal IUPHHK terdegradasi menjadi Hutan sekunder yang
tidak produktif, Semak belukar dan Alang2.
ü
Multisistem
silvikultur adalah solusi yang paling tepat dalam upaya mengoptimalkan
pemanfaatan kawasan hutan alam produksi. Secara teknis pengetrapan system
silvikultur yang akan digunakan dalam pengelolaan areal hutan alam produksi
menggunakan multisistem silvikultur sudah tersedia sebagaimana sudah ditetapkan
beberapa system silvikultur yang berlaku di Indonesia diantaranya adalah TPTI,
Sysilin/TPTJ, THPA, dan THPB. Mengingat
pedoman sistem-sistem silvikultur yang berlaku saat ini umumnya masih bersifat
umum, maka pada masing-masing unit pengelola hutan produksi perlu dilakukan
penelitian/pengembangan lebih mendalam agar sesuai dengan kondisi site spesifik
areal hutan yang dikelolanya.
ü
Langkah tindak
lanjut penting yang perlu segera diambil sehubungan dengan telah terbitnya
peraturan tentang multisistem silvikultur ini adalah membuat juknis atas
efektivitas peraturan multisistem silvikultur. Bagi IUPHHK yang baru,
pengelolaannya diwajibkan menggunakan multisistem silvikultur, sedangkan untuk
yang sudah berjalan segera menyusun RKUPHK yang berdasarkan multisistem
silvikultur.
ü
Sistem multisistem
sylvikultur merupakan penggambungan dari beberapa sistem silvikultur terdahulu
yang dipadukan dengan berbagai teknik-teknik silvikultur sehingga lebh tepat
guna dan menyentuh seluruh elemen masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kehutanan 1997. Surat Keputusan
Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1998. SK.
Menhutbun. 625/Kpts-II/1998. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1998. Sk
Menhutbun. 201/Kpts-II/1998 tgl 27 Februari 1998. Departemen Kehutanan dan
Perkebunan. Jakarta.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan 1999. Sk
Menhutbun No. 15/Kpts/IV/1999. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Departemen Kehutanan 2002. Kepmenhut No.
10172/Kpts-II/2002 tentang perubahan kepmenhutbun No. 309/kpts-II/1999.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Kehutanan. 1972.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972. tentang Tebang
Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Permudaan Alam, Tebang Habis dengan
Permudaan Buatan dan Pedoman Pengawasannya, Direktorat Jenderal Kehutanan,
Jakarta.
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi.
1980. Pedoman Tebang Pilih Indonesia. Penentuan Sistem Silvikultur. Pelaksanaan
dan Pengawasan. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan.
1989. Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989.
tentang Tebang Pilih Tanam Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan.
Departemen Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan.
1993. Pedoman Pelaksanaan Uji Coba Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI).
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Jakarta.
Manan, S. 1995. Pelaksanaan Sistem
Sillvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) ditinjau dari aspek
keanekaragaman Hayati dan Erosi Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito
2005. Project Completion Report ITTO. PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada
University. Yogyakarta.
Soerianegara, I. 1971. Sistem-sistem
Silvikultur untuk Hutan Hujan Tropika di Indonesia. Pengumuman (communication)
No. 98. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar