Desentralisasi,
Devolusi Pengelolaan Hutan di Negara Uganda
Steve Amooti Nsita
I.
PENDAHULUAN
Pemerintah
lokal di Uganda mengelola 5.000 ha kawasan hutan lokal dan mengawasi hutan di
lahan privat, yang meliputi 70 persen kawasan hutan Uganda. Sepuluh tahun
setelah diperkenalkannya proses desentralisasi di Uganda, desentralisasi tidak
benar-benar menjangkau hutan. Permasalahannya adalah bahwa desentralisasi tidak
diuji coba dalam waktu yang cukup lama untuk memberikan kepercayaan diri kepada
kedua pihak (pemerintah pusat dan pemerintah lokal) dan untuk memberi
pemerintah lokal waktu dalam mengembangkan kapasitas mereka. Friksi antara
Departemen Kehutanan pemerintah pusat dengan pemerintah local berlanjut karena
undang-undang yang mengatur pemerintahan lokal dan yang mengatur kehutanan
tidak menjelaskan apakah hutan didesentralisasi atau tidak. Kebingungan yang
terjadi telah menyebabkan kemerosotan hutan melalui pengambilan hasil secara
ilegal dan pelanggaran batas untuk pertanian dan permukiman.
Kawasan
hutan lokal yang ditetapkan pada tahun 1998 tidak dilimpahkan kepada pemerintah
lokal dengan sumberdaya yang berkaitan untuk mengelolanya. Hasilnya, pemerintah
lokal tidak mengambil tanggung jawabnya. Kawasan ini juga mengalami penjarahan
hebat. Setelah desentralisasi hampir tidak ada investasi public atau swasta di
tingkat hutan. Meskipun demikian, kemungkinan adanya keuntungan finansial
perorangan menunjukkan permulaan dari investasi modal swasta di sektor
kehutanan.
1.1. PENGELOLAAN HUTAN DI UGANDA
Uganda
(berpenduduk 24,7 juta jiwa) meliputi wilayah seluas 241.038 kilometer persegi.
Lahan pertanian subsisten mencakup 41
persen wilayah daratan; hutan meliputi 24 persen dan kawasan semak belukar
mencakup7 persen. Selebihnya sebesar 28 persen terdiri dari padang rumput, air,
tanah rawa, dan kawasan bangunan (Kementerian Pengairan, Lahan dan Lingkungan,
2001). Hutan mencakup 4,9 juta ha dan terdiri dari terutama (81 persen) kawasan
woodland (ketinggian pepohonan 4 meter tetapi tutupan hutannya kurang
dari 30 persen), dengan hutan tropis dataran tinggi (19 persen) dan perkebunan
(kurang dari 1 persen). Tiga puluh persen hutannya dikelola oleh badan
pemerintah (Departemen Kehutanan, yang telah ditata ulang sebagai Otoritas
Kehutanan Nasional – the National Forestry Authority), pemerintah local
dan Otoritas Hidupan Liar Uganda (the Uganda Wildlife Authority). Kawasan hutan
permanen terdiri dari 1,9 juta ha, mewakili sekitar 9 persen dari total wilayah
daratan Uganda (Kementerian Pengairan, Lahan dan Lingkungan, 2001). Ini
mencakup seluruh kawasan hutan (1,2 juta ha) dan wilayah berhutan di dalam
taman nasional (0,7 juta ha). Tujuhpuluh persen hutan dijumpai di lahan
pribadi. Laporan badan kehutanan menunjukkan bahwa 50 persen hutan tropis
dataran tinggi pada lahan pribadi terdegradasi, dan sebesar 17 persen hutan
yang berada di kawasan lindung juga terdegradasi.
Penyebab utama degradasi tersebut termasuk
pengambilan kayu, kayu bakar dan arang kayu, dan penyerobotan lahan untuk
pertanian dan pemukiman penduduk. Industri kehutanannya merupakan industri
skala kecil dan hampir seluruhnya dimiliki oleh warga negara Uganda. Pasar juga
sebagian besar pasar domestik, meskipun ekspor produk-produk hutan dengan nilai
tambah semakin banyak, khususnya dalam wilayah Afrika. Telah jelas bahwa upaya
untuk mengembangkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab seharusnya diarahkan
kepada pemilik lahan pribadi yang ada hutannya.
1.2. LATAR BELAKANG SEJARAH
Pengelolaan
hutan di Uganda telah didesentralisasi dan diresentralisasi kembali
berkali-kali sejak kemerdekaan pada tahun 1962 karena pemerintahan yang berbeda
menerapkan kebijakan yang berbeda. Sampai akhir tahun 1990-an, pengelolaan
hutan di Uganda terutama adalah persoalan publik, lebih kurang terbatas dalam
kawasan hutan. Sebelum tahun 1967, dinas kehutanan lokal sangat aktif, yang
mengelola kawasan hutan lokal, khususnya di bawah kerajaan-kerajaan yang telah
membangun sistem pemerintahan yang koheren dan kuat. Pada saat itu, pemerintah
lokal memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas pembangunan wilayah
mereka. Namun demikian, pemerintah pusat masih bertanggung jawab mengelola
sejumlah kawasan hutan.
Pada
tahun 1967, pemerintah Uganda menerapkan sebuah konstitusi negara republik,
yang mensentralisasi hampir seluruh kewenangan pembuatan keputusan pemerintah.
Konsekuensinya, seluruh kawasan hutan lokal menjadi kawasan hutan pusat. Pada
tahun 1993, pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi. Namun, segera
terlihat jelas bahwa pemerintah lokal belum siap untuk memikul seluruh tanggung
jawab pengelolaan hutan. Karena pemerintah lokal membutuhkan pendapatan untuk
menjalankan kegiatan yang lebih mendesak seperti pendidikan, air dan kesehatan,
yang juga telah didesentralisasi, mereka mulai memanen hutan tanpa
mempertimbangkan pengelolaan yang terencana. Oleh karena itu kawasan hutan
diresentralisasi pada tahun 1995, tetapi kali ini melalui perundang-undangan di
bawah undang-undang pokok/ utama. Langkah ini kurang populer. Pemerintah lokal
menentang dasar hukum (sekalipun di luar pengadilan) untuk meresentralisasi
kawasan hutan dan menekan pemerintah pusat untuk mendesentralisasikan kembali
kawasan hutan. Pada tahun 1995, Uganda menerapkan konstitusi yang baru.
Konstitusi tersebut mencakup keseluruhan kebijakan desentralisasi tahun 1993;
tetapi tetap ambivalen berkenaan dengan pengelolaan hutan.
Semenjak
itu pemerintah lokal meminta kepada pemerintah pusat untuk mengalihkan seluruh
kawasan hutan kepada mereka, dengan mengemukakan alasan (mungkin tepat) bahwa
undang-undang hanya menetapkan pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan.
Departemen Kehutanan memberi tanggapan bahwa pemerintah lokal tidak memiliki
kapasitas dan cukup kemauan untuk mengelola kawasan hutan secara
profesional. Undang-undang Kehutanan
Nasional dan Penanaman Pohon tahun 2003 mempertahankan tatanan keadaan tahun
1998; tetapi kali inimembentuk Otoritas Kehutanan Nasional yang semi-otonom.
Jika Departemen Kehutanan telah bertanggung jawab atas seluruh aspek kehutanan
negara, badan yang baru itu hanya akan mengelola kawasan hutan pusat.
Kelihatannya pemerintah lokal menerima pendekatan ini. Hasil dari perubahan ini
bermacam-macam. Setelah kemerdekaan, kawasan hutan lokal berjalan secara
efisien, seperti juga kegiatan pemerintahan lainnya. Sampai pertengahan tahun
1970-an, kawasan hutan dikelola dengan baik meskipun tersentralisasi. Setelah
itu, efisiensi tergantung kepada sumberdaya yang tersedia dari pemerintah
pusat. Kawasan hutan tidak pernah didesentralisasi cukup lama untuk dapat
membuat penilaian mengenai dampak dari desentralisasi terhadap pengelolaan
hutan berkelanjutan.
Sektor-sektor
lain yang didesentralisasi khususnya kesehatan, pendidikan dan jalan raya –
masih tergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat, yang tetap mempunyai
pengaruh yang kuat atas hal-hal di tingkat lokal. Sektor kehutanan tidak mungkin
berbeda sampai pemerintah lokal membangun basis pendapatan sendiri yang
memadai.
1.3. DESENTRALISASI DI UGANDA
Bentuk
desentralisasi yang dikenal secara luas di Uganda adalah devolusi finansial
dan kewenangan pembuatan keputusan kepada struktur subnasional di berbagai
tingkat. Bagi daerah pedesaan, hirarki pemerintah lokal dari distrik
(tingkat administratif sub-nasional yang utama) turun ke county, sub-county,
parish dan terakhir, desa. Di daerah perkotaan, tingkatannya
adalah kota, bagian kota (city division), dewan kotamadya, dewan
kota kecil (town), ward dan desa. Pasal 176(b) Konstitusi
Republik Uganda tahun 1995 menyatakan: … desentralisasi harus menjadi
prinsip yang diterapkan pada seluruh tingkat pemerintah local dan, khususnya,
dari unit pemerintah local yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah untuk
menjamin partisipasi masyarakat dan kontrol demokratik dalam pembuatan
keputusan. Oleh karenanya, maksud dari Undang-undang Pemerintah Lokal Tahun
1997, adalah sebagai berikut: “untuk melaksanakan desentralisasi dan
devolusi fungsi, kewenangan dan pelayanan; untuk melaksanakan desentralisasi di
seluruh tingkat pemerintah lokal; untuk menjamin tata kelola yang baik dan
partisipasi yang demokratis dalam, dan kontrol terhadap, pembuatan keputusan
oleh masyarakat.
Meskipun
dekonsentrasi melimpahkan sebagian besar kegiatan sehari-hari
dari pemerintah pusat, seluruh keputusan penting masih dibuat pemerintah
pusat. Departemen Kehutanan telah melakukannya sejak lama. Sebagai
contoh, pejabat kehutanan distrik melaksanakan sebagian besar tanggung
jawab operasional, seperti perencanaan pengelolaan hutan, menyusun
anggaran dan supervisi tingkat kerja lapangan kehutanan; tetapi rencana
pengelolaan hutan dan anggaran harus disetujui oleh kepala Departemen
Kehutanan di Kampala.
Tujuan
umum dari desentralisasi di Uganda adalah sebagai berikut (Kato, 1997):
v
Melimpahkan
kewenangan yang sesungguhnya kepada distrik sehingga mengurangi beban
pejabat-pejabat pemerintah pusat dengan sumberdaya terbatas di daerah
terpencil;
v
Menempatkan
kontrol politik dan administratif atas pelayanan dimana pelayanan itu
diberikan, dan dengan demikian mengurangi persaingan kewenangan di pusat serta
meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas;
v
Membebaskan
pengelola lokal dari tekanan pusat sehingga memungkinkan mereka untuk
mengembangkan struktur organisasi yang disesuaikan dengan keadaan lokal;\
Meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab finansial dengan membangun mata
rantai yang jelas antara pembayaran pajak dan penyelenggaraan pelayanan yang
dibiayai oleh pajak;
v
Merestrukturisasi
aparat pemerintahan agar administrasi negara menjadi lebih efektif; dan
v
Membangun
demokrasi agar aparat pemerintah menjadi lebih efisiendan produktif dengan
melibatkan masyarakat di seluruh tingkatan.
1.4. PERKEMBANGAN HUKUM YANG
MENENTUKAN BENTUK DESENTRALISASI
Sampai
akhir tahun 1990-an, pengelolaan hutan sebagian besar merupakan fungsi dari
pemerintah pusat. Pengelolaan yang terencana hampir seluruhnya dilaksanakan
hanya di kawasan hutan. Hampir tidak terdapat pengelolaan hutan yang terencana
pada lahan pribadi sampai perusahaan swasta dan individu mulai mendapatkan izin
untuk mengusahakan hutan tanaman industri mereka sendiri di kawasan hutan
padang rumput pada pertengahan tahun 1990-an. Sebelum tahun 1967, ketika
pemerintah menghapuskan konstitusi
federal yang dibuat pada saat
kemerdekaan, sebagian besar kawasan hutan dikelola melalui mekanisme
desentralisasi.
Mekanisme
ini terutama tipe dekonsentrasi, yang mana pejabat distrik melakukan
sebagian besar pekerjaan tanpa pengawasan pusat, asal rencana tahunan dan
anggaran telah disetujui dan dipatuhi. Alokasi finansial dilaksanakan melalui
keputusan departemen pemerintah pusat setelah rencana dan anggaran disetujui.
Terkecuali ada perbedaan yang signifikan dalam rencana kerja tahunan, distrik
biasanya beroperasi lebih kurang secara mandiri. Saat itu terdapat pemerintah
lokal yang sangat aktif, yang membangun sistem yang koheren sejak masa
penjajahan: mereka merencanakan dan melaksanakan seluruh kegiatan di distrik,
menghimpun dan mengeluarkan hasil pendapatan, mengangkat dan memecat pegawai
mereka sendiri, dan mereka bahkan memiliki struktur gaji sendiri, yang berbeda dari
pegawai negeri pemerintah pusat.
Pada
tahun 1967, pemerintah menerapkan sebuah
konstitusi Negara republik, yang mensentralisasi hampir seluruh kewenangan
pembuatan keputusan pemerintah. Sekarang, seluruh kawasan hutan dikelola oleh
Departemen Kehutanan, dan seluruh kewenangan pembuatan keputusan pemerintah
lokal berkenaan dengan pengelolaan hutan, termasuk hutan pada lahan publik,
telah diambil. Pada masa ini, Uganda memiliki salah satu dinas pengelolaan
hutan yang terbaik di Afrika. Meskipun pengelolaannya tersentralisasi, kawasan
hutan dikelola dengan baik. Segala sesuatunya memburuk ketika pemerintah
digulingkan oleh militer pada tahun 1971. Pada tahun 1993, pemerintah
sepenuhnya memulai proses desentralisasi melalui Undang-undang Pemerintah Lokal
(Resistance Councils) Tahun 1993.
Undang-undang
ini mendesentralisasikan pengelolaan hutan. Namun, segera terlihat jelas bahwa
pemerintah lokal tidak siap untuk terlibat dalam pengelolaan hutan secara
profesional. Mereka melihat hutan sebagai sumber pendapatan untuk membiayai
kegiatan pembangunan di sektor-sektor lain seperti kesehatan, pendidikan dan
jalan yang telah didesentralisasi (lihat kasus Indonesia, Bab 7). Hasilnya,
hutan diresentralisasi pada bulan Desember 1995 melalui Undang-undang (Statutory
Instrument) No 52. Pada saat ini, pejabatpejabat lokal telah sangat sadar
akan kekuasaan mereka, dan massa pemilih memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
keputusan pemerintah.
Masyarakat
mulai menjarah kawasan hutan dengan persetujuan diam-diam dari pemimpin
terpilih mereka, dan pemanen ilegal melaksanakan kegiatan mereka secara terbuka
(khususnya kayu dan arang). Segera, sejumlah pegawai Departemen Kehutanan,
merasa berhadapan dengan tekanan politik yang menginginkan digesernya mereka,
secara diam-diam bergabung dengan pemimpin terpilih untuk berkonspirasi dengan
para penjarah dan pedagang hasil hutan ilegal. Sejak saat itu, Departemen
Kehutanan tidak pernah mampu membalikkan keadaan ini. Kenyataannya, sebagian
besar kasus-kasus berat penjarahan dan pemanenan secara ilegal di Uganda saat
ini dimulai atau meluas selama masa pemilihan umum. Persoalan penjarahan yang
membandel di kawasan hutan South Busoge dan Luwunga makin menjadi. Sebagai
contoh, bahkan setelah pemerintah memenangkan kasus pengadilan melawan penjarah
di Luwunga, pemimpin politik local membuat keputusan pengadilan itu mustahil
dilaksanakan; karenanya, kewenangan yang didesentralisasi menyebabkan kegagalan
mekanisme peradilan. Itulah kemungkinan mengapa konstitusi tahun 1995 ambivalen
berkenaan dengan pengelolaan hutan. Satu klausul memberikan wewenang kepada
‘Pemerintah atau pemerintah lokal sebagaimana ditetapkan oleh parlemen
berdasarkan undang-undang’ untuk menguasai hutan sebagai wakil dari masyarakat
Uganda.
Klausul
lainnya membiarkan kebijakan atas hutan
dan taman buru serta ‘lingkungan’ di bawah pemerintah pusat, tetapi tanpa
menyebut hutan. Sehingga, hutan merupakan salah satu di antara ‘fungsi dan
pelayanan lainnya yang tidak ditentukan’ yang pengelolaannya jatuh ke dewan
distrik. Pihak legislative gagal mengambil langkah konstitusional yang tegas.
Mereka memahami kebutuhan untuk melindungi hutan; tetapi mereka juga tidak dapat berlawanan secara terbuka
dengan orang-orang yang memilih mereka. Proses konstitusional gagal
menyelesaikan aspek social pengelolaan hutan berkelanjutan. Karena pemerintah
local tidak pernah benar-benar menerima resentralisasi yang terjadi tepat
sebelum konstitusi diumumkan, Undang-undang Pemerintah Lokal Tahun 1997 secara
khusus menyebutkan hutan sebagai sebuah fungsi dari pemerintah lokal. Hal ini
secara efektif mendesentralisasikan hutan kembali. Pemerintah kemudian
membentuk kawasan hutan pusat dan lokal dalam upayanya menenangkan pemerintah
lokal dan pendukung rahasia mereka di tingkat pusat. Tetapi wilayah yang
tercakup kecil: ada 192 lokasi kawasan hutan lokal, tetapi luas seluruhnya
hanya di bawah 5.000 ha, bandingkan dengan 542 lokasi kawasan hutan pusat yang
luas keseluruhannya 1.455.130 ha. Jadi, kebuntuan tidak dapat diatasi dan ketegangan sosial antara
pegawai dengan masyarakat yang tinggal dekat hutan berlanjut.
Pada
bulan Juli 1993, Undang-undang Penguasa Tradisional (Ganti Rugi Asset dan
Kepemilikan) seharusnya membuka jalan bagi penguasa tradisional untuk mengklaim
kembali hutan yang menjadi milik kerajaan mereka sebelum 1967. Tetapi penguasa
tradisional tidak mempunyai kewenangan secara hukum untuk menguasai kawasan
hutan karena Undang-undang Pemerintah Lokal tidak menetapkan lembaga tradisional
sebagai pemerintah lokal secara hukum. Karenanya, pada tahun 2001, sebuah
perintah eksekutif di bawah sebuah kesepakatan bersama Antara pemerintah pusat
dan otoritas Kerajaan Bunyoro untuk mengembalikan sejumlah kawasan hutan kepada
raja tidak dapat dilaksanakan.
Meskipun
pimpinan Departemen Kehutanan memberi otoritas kerajaan izin tertulis untuk
mengambil alih pengelolaan sebuah kawasan hutan, jaksa agung menyatakan bahwa
kerajaan tidak dapat menguasai kawasan hutan manapun sebagai wakil dari rakyat
Uganda. Namun, Departemen Kehutanan tidak memiliki dukungan politik yang cukup
untuk mengklaim kawasan hutan tersebut. Mengambil keuntungan dari kebuntuan
itu, kerajaan tetap melanjutkan kegiatan penebangan kayu dengan cara yang tidak
terkendali, menyebabkan degradasi hutan tanaman industri untuk keuntungan
finansial beberapa individu (lihat Bab 4). Bahkan Kebijakan Kehutanan Tahun 2001
pun tidak tegas. Sebagai contoh, dikatakan: akan dilakukan upaya-upaya untuk
memperjelas peran dari pemerintah lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan…
segala kerancuan dan kontradiksi ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi, Undang-undang
Pemerintah Lokal dan Undang-undang Pertanahan berkenaan dengan peran dari distrik
dalam pembangunan sector hutan akan diselesaikan.
Undang-undang
Kehutanan Nasional dan Penanaman Pohon Tahun 2003 berusaha untuk memperjelas
kerancuan ini dengan membedakan kawasan hutan pusat (dikelola oleh
Otoritas Kehutanan Nasional), kawasan hutan lokal dan hutan komunitas (dikelola
oleh pemerintah lokal) dan hutan privat. Sekarang pemerintah lokal dapat secara
langsung menghimpun dan menggunakan hasil pendapatan
yang dulu biasanya masuk ke rekening gabungan pemerintah pusat. Masih terlalu
awal untuk mengatakan bagaimana kebijakan dan undang-undang baru itu akan mempengaruhi
pengelolaan hutan.
Namun, pihak-pihak yang terlibat nampaknya
telah puas dengan pengaturan tersebut. Diskusi hangat akan muncul ketika
membicarakan pembagian hutan secara adil antara pemerintah lokal dan Otoritas
Kehutanan Nasional; tetapi ketika hal itu telah disetujui, semua pihak akan
mulai untuk ikut bekerja sama menuju pengelolaan hutan berkelanjutan.
II.
KERANGKA
KERJA HUKUM DAN KELEMBAGAAN LAINNYA
2.1.
Undang-undang
Pertanahan Tahun 1998
Bersumber
dari Pasal 237 Konstitusi 1995, Undang-undang Pertanahan menguasakan
kepemilikan tanah kepada warga negara Uganda; tetapi, sebagaimana dinyatakan
sebelumnya, pemerintah pusat dan lokal dapat menguasai kawasan hutan dan sumberdaya
alam lainnya atas nama seluruh rakyat Uganda. Pejabat lokal bisa meminta
pemerintah pusat untuk mengelola sumberdaya mereka yang mana pun; namun
demikian, sejauh ini, tidak satupun yang secara formal meminta untuk
diterapkannya ketetapan konstitusional ini.
Dalam
menggunakan hak mereka untuk mengelola sumberdaya tersebut, pemerintah pusat
dan lokal ‘tidak boleh menyewakan atau bahkan menghilangkan sumberdaya alam
mana pun’ yang mereka kuasai atas nama masyarakat. Namun, mereka boleh
memberikan ijin konsesi atau izin untuk memanfaatkan sumberdaya. Undang-undang
ini memberi wewenang kepada masyarakat untuk menggunakan lahan yang mereka
miliki dalam cara apa pun asal sesuai dengan hukum lain yang berlaku. Berkaitan
dengan kehutanan, hukum yang sangat umum dirujuk berhubungan dengan hutan,
lingkungan dan hidupan liar. Masyarakat juga dapat mengakses kawasan hutan
melalui hak guna, tetapi kawasan hutan ini tidak dapat dirubah status hukumnya (degazetted)
tanpa persetujuan parlemen. Undang-undang ini membentuk dewan pertanahan di
tingkat distrik dan Komite Pertanahan di tingkat parish untuk menangani
pengalihan kepemilikan, penyelesaian konflik, alokasi lahan yang tidak dimiliki
oleh siapapun dan meninjau besaran kompensasi, serta persoalan-persoalan yang lain.
Sebagian besar kewenangan dan tanggung jawab yang sebelumnya ada di pusat sekarang
telah didesentralisasi. Karena implikasi finansial yang tidak diantisipasi,
implementasi sejumlah aspek ditunda. Karena itu, masih terlalu dini untuk
mengukur pengaruh dari undang-undang tersebut terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan.
Namun, yang jelas adalah bahwa banyak dewan kotamadya dan dewan kota kecil
(town) cukup kuat menekan Departemen Kehutanan untuk merubah status hukum (degazette)
kawasan hutan di daerah perkotaan.
Undang-undang memperbolehkan hal tersebut, tetapi memerlukan persetujuan dari
parlemen. Tidak ada pemerintah lokal yang sejauh ini telah meminta persetujuan
parlemen; tetapi mereka secara diamdiam memperbolehkan kawasan hutan perkotaan
untuk dibangun: di daerah perkotaan/urban, pembangunan lebih diinginkan
daripada lahan terbuka.
2.2. Undang-undang Pengelolaan
Lingkungan Tahun 1995
Undang-undang
Pengelolaan Lingkungan tersebut membentuk Otoritas Pengelolaan Lingkungan
Nasional dan membuatnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan
dilakukan dalam cara yang ramah lingkungan. Undang-undang ini memungkinkan pembentukan
komite lingkungan pemerintah lokal untuk mengkoordinasikan kegiatankegiatan di
berbagai tingkat lokal.
Undang-undang
ini memungkinkan penanaman pohon secara sukarela demi tujuan yang berhubungan
dengan lingkungan oleh pemilik lahan. Namun, jika komite lingkungan menganggap
suatu wilayah beresiko mengalami degradasi lingkungan, komite itu dapat memaksa
pemiliknya untuk menanam pepohonan. Sebenarnya undang-undang ini mendesentralisasikan
kewenangan secara substansial kepada pemerintah lokal melalui komite
lingkungan. Namun, Otoritas Pengelolaan Lingkungan Nasional dapat campur tangan
jika lembaga lokal dan individu gagal memenuhi tanggung jawab mereka.
Undang-undang ini terkait dengan Undang-undang Kehutanan dengan mengharuskan
pengelolaan semua hutan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Undang-undang
ini mengatur hubungan antara Otoritas Pengelolaan Lingkungan Nasional dengan
badan utama kehutanan (saat ini adalah Departemen Kehutanan). Hubungan ini
sekarang tidak jelas karena Undang-undang kehutanan yang baru membentuk banyak
‘badan-badan utama’.
Meskipun
mayoritas tingkat pemerintah lokal memiliki komite lingkungan, sebagian besar
mereka masih tetap tidak efektif karena anggotanya tidak diberi kompensasi. Lingkungan
jadinya menjadi topic yang populer hanya dalam pertemuan pertemuan publik:
sesungguhnya mencegah pengambilan kayu dan penanaman wetlands yang membahayakan
lingkungan hidup masih sangat tidak populer. Pemimpin politik lokal menganggap
bahwa memalingkan muka/pura-pura tidak tahu jika konstituen mereka melanggar
hukum lingkungan merupakan langkah yang tepat.
2.3. Undang-undang Hidupan Liar Uganda
Tahun 1996
Undang-undang
ini mendefinisikan hidupan liar (wildlife) sebagai ‘setiap tanaman liar atau
hewan liar spesies asli Uganda’ dan menempatkan ‘kepemilikan setiap hewan liar
dan tanaman liar yang berada di habitat liarnya di Uganda’ di tangan pemerintah
untuk kepentingan rakyat Uganda. Hal ini nampaknya untuk mensentralisasi
pengelolaan seluruh vegetasi alamiah di bawah Otoritas Hidupan Liar Uganda (the
Uganda Wildlife Authority). Dalam prakteknya, otoritas ini mengelola hewan liar
(bahkan di lahan privat), tetapi hanya mengelola tanaman liar yang berada di
taman nasional dan kawasan cagar/suaka hidupan liar. Esensinya, tanggung jawab
pengelolaan hidupan liar ini adalah terpusat. Namun, undang-undang ini juga
memberi wewenang kepada pemerintah lokal untuk menunjuk komite yang akan
memberi pertimbangan kepada Otoritas Hidupan Liar Uganda bagi pengelolaan dan
pemanfaatan hidupan liar di dalam yurisdiksi lokal. Komite tersebut memainkan
peran sebagai penasehat, dan untuk memberi pertimbangan kepada otoritas pusat
sering kali lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
2.4. PELAJARAN YANG DIPETIK
2.4.1. Kerancuan dalam
perundang-undangan
Kerancuan
dalam perundang-undangan menyebabkan terjadinya perebutan antara Departemen
Kehutanan dengan pemerintah lokal untuk mengontrol kawasan hutan. Hubungan
antara badan pemerintah pusat dengan sejumlah distrik cukup tegang, dan
kerjasama dalam perlindungan hutan masih tetap kurang. Departemen Kehutanan
dijelek-jelekkan dalam banyak pertemuan/reli-reli politik, khususnya selama
pemilihan umum. Pemimpin politik lokal sering kali diam-diam memberikan
dukungan pada individu-individu yang sembrono yang menginginkan kepemilikan pribadi
atas kawasan hutan, dan terus-menerus ada tekanan, sering kali dari individu,
untuk merubah status hukum (degazette) kawasan hutan bagi peruntukan
lainnya.
2.4.2. Proses reformasi sektor kehutanan
Pemerintah
memutuskan untuk mereformasi sektor kehutanan pada tahun 1998, meskipun para
pemangku kepentingan telah mendiskusikan hal ini sejak 1995. Dilakukan tinjauan
terhadap sektor ini, diikuti oleh prosesproses partisipatif, yang menghasilkan
Kebijakan Hutan Tahun 2001 dan Undang-undang Kehutanan Nasional dan Penanaman
Pohon Tahun 2003. Perundang-undangan ini memungkinkan dilaksanakannya reformasi
kelembagaan, membawa kepada pelembagaan tanggung jawab untuk mengelola hutan
oleh empat pelaku utama: Otoritas Kehutanan Nasional (the National Forestry
Authority), Otoritas Hidupan liar Uganda (the Uganda Wildlife Authority),
pemerintah lokal dan pemilik hutan pribadi/ swasta. Tanggung jawab dari pejabat
lokal dan pemilik hutan pribadi dikuasakan kepada dinas kehutanan distrik,
bagian dari pemerintah local yang bertanggung jawab atas pengelolaan hutan. Aspek
yang paling sulit dari proses reformasi ini adalah mencapai kesepakatan atas
susunan kelembagaan Otoritas Kehutanan Nasional dan dinas kehutanan distrik.
Akibatnya, moral para pegawai Departemen Kehutanan runtuh, dan menjadi sangat sulit
untuk memelihara disiplin dalam pengelolaan hutan di tingkat lapangan. Para
oportunis di sector swasta dan publik mengambil keuntungan dari keadaan yang
terus menerus berubah ini untuk merusak hutan. Komunitas lokal menggunakan
kekuatan voting mereka untuk memaksa para politisi agar mendukung perambahan illegal
atas kawasan hutan. Sumberdaya hutan telah mengalami kerusakan berat yang
membuat banyak orang bertanya-tanya apakah hasil reformasi ini (yang masih jauh
dari selesai) sepadan dengan kerusakan yang telah ditimbulkannya.
4.2.3. Pembiayaan pengelolaan
hutan berkelanjutan
4.2.3.1. Pembiayaan public
Banyak
kegiatan kehutanan didanai oleh pemerintah dan mitra pembangunannya. Jenis
pembiayaan ini sekarang secara tetap ditransfer ke dalam anggaran pendukung dan
akan digunakan melalui mekanisme alokasi dan sektoral. Sayangnya, sector
kehutanan nampaknya kalah dengan sektor pendidikan, kesehatan, jalan, pertanian
dan sektor lainnya yang memiliki prioritas yang lebih tinggi bagi pemerintah.
Kondisi yang sama tampaknya akan terjadi di tingkat lokal ketika desentralisasi
pengelolaan hutan akhirnya mulai berakar.
Sekalipun
kewenangan pembuatan keputusan secara otonom dimiliki pemerintah lokal,
sebagian besar anggaran mereka (sampai dengan 90 persen di banyak distrik)
masih berasal dari pemerintah pusat melalui grant/dana bantuan dan dari pihak
donor. Oleh karena itu, prioritas mereka serupa dengan prioritas pemerintah
pusat, dan bahkan distrik yang hutannya merupakan sumber potensial bagi
pendapatannya tidak melakukan investasi dalam pembangunan sumberdaya tersebut. Kenyataannya,
banyak pejabat lokal mengeluh bahwa ketika pemerintah pusat menetapkan kawasan
hutan, pemerintah pusat tidak mentransfer sejumlah sumberdaya yang berkaitan
(upah/gaji dan dana operasional) untuk memungkinkan pengelolaan yang efektif.
Karena hanya sedikit yang dapat diambil dari kawasan hutan ini, kawasan itu
dibiarkan tidak terkelola, dan lebih buruk lagi, banyak di antaranya dirambah
lagi. Namun demikian, pendanaan dari donor sekarang dapat langsung disalurkan
melalui pemerintah distrik. Sektor kehutanan telah mendapatkan keuntungan;
tetapi jenis pendanaan ini terbatas kepada beberapa distrik dengan situasi
khusus, seperti pengungsi dan yang rawan bencana alam. Namun, ketika Dinas
Kehutanan Distrik yang baru telah beroperasi penuh, kemungkinan akan lebih
banyaknya pendanaan publik yang akan sampai ke distrik akan lebih besar lagi.
Mereka juga akan mampu menghimpun lebih banyak pendapatan kehutanan.
Pada
tahun 1996 pemerintah mengizinkan Departemen Kehutanan untuk memberikan 40
persen dari pendapatan kotor yang dihimpun dari hasil hutan langsung kepada
distrik. Diharapkan bahwa hal itu akan mendorong investasi kembali hasil
pendapatan sektor kehutanan di wilayah setempat dimana pendapatan itu
dihasilkan. Dan jika dihimpun dan diinvestasikan kembali dengan benar, bagi
hasil yang diperoleh pemerintah distrik akan memberikan pengaruh yang
substansial. Sebagai contoh, 40 persen hasil pendapatan yang berasal dari
royalti kayu gelondongan dari hutan tanaman industri pinus antara bulan
Juli–Desember 2003 mencapai sebesar 400 juta shilings Uganda (1 US$ setara
dengan 1960 shilings Uganda pada bulan November 2003).
Di
distrik-distrik dengan pendapatan dari hutan yang cukup besar, popularitas
petugas kehutanan distrik meningkat; tetapi setelah pengaduan keberatan dari
komunitas yang tinggal dekat dengan hutan bahwa mereka tidak melihat
dikemanakan uangnya, pejabat distrik mulai membiayai sejumlah kegiatan – terutama
kendaraan bagi para petugas dan tunjangan biaya hidup bagi beberapa pegawai.
Beberapa distrik mulai menggunakan dana bantuan yang berasal dari pemerintah
pusat untuk mendanai pembibitan di tingkat lokal. Kemajuannya cukup baik,
meskipun seharusnya dapat lebih cepat lagi.
4.2.3.2. Investasi masyarakat
Dimana
terdapat manfaat finansial yang jelas bagi individu, mereka telah
menginvestasikan sumberdaya mereka sendiri. Di distrik Bushenyi, asosiasi
penebangan kayu lokal melacak keberadaan pedagang kayu illegal dan melaporkan
mereka kepada staf Departemen Kehutanan. Mereka termotivasi oleh meningkatnya
harga kayu, yang berarti keuntungan yang lebih besar bagi anggotanya pada penjualan
hasil tebangan kayu secara legal.
Kebutuhan
akan pembiayaan publik masih tetap ada jika masyarakat ingin melihat keuntungan
tidak nyata jangka panjang dari hutan dan harus melakukan investasi dalam
pengelolaan hutan dengan biaya sendiri. Karena kemiskinan mereka, argumennya harus
lebih dari sekedar alasan ‘yang lebih baik’. Usaha-usaha untuk meningkatkan
pendapatan dan proyek-proyek kemasyarakatan (seperti peralatan perkakas sekolah
atau klinik lokal) telah diupayakan; tetapi tidak ada bukti tertulis bahwa
semua itu mengilhami pengelolaan hutan yang baik.
KESIMPULAN
Desentralisasi
sebagai prinsip dan penerapan atas pengelolaan sejumlah urusan masyarakat telah
dilakukan di Uganda; tetapi para rimbawan masih khawatir, dan pemerintah lokal
tidak percaya maksud dari pelimpahan secara cepat atas kawasan hutan sebagaimana
disebutkan dalam perundang-undangan. Titik temu yang tidak dapat disangkal lagi
dari seluruh tingkat pemerintahan adalah pada tingkat komunitas akarrumput. Karena
itu, kegiatan-kegiatan pada tingkat ini nampaknya secara bertahap menghilangkan
ketidakpercayaan itu, khususnya jika fokusnya adalah pada memperbaiki kehidupan
masyarakat. Kepemilikan lahan kelihatannya bertalian erat dengan hak guna.
Sebagian
besar masyarakat tidak hanya menginginkan agar mendapat hak untuk memanfaatkan
hutan; mereka juga menginginkan untuk memiliki lahan tersebut dan untuk dapat
mengubah pemanfaatan lahan sesuai dengan keinginan. Untuk mencapai tujuan ini,
massa pemilih mengambil keuntungan dari kekuatan mereka untuk memaksa para
politisi agar mendukung kepemilikan privat atas lahan di wilayah kawasan hutan
dan kawasan lindung lainnya. Pejabat lokal lebih rentan terhadap paksaan ini dari
pada kolega mereka di pusat. Karena itu, solusinya mungkin tetap dipertahankannya
ekosistem hutan yang kritis di bawah kontrol pusat melalui Otoritas Kehutanan
Nasional (bandingkan dengan Bab 6). Namun, kepada pemerintah lokal harus diberikan
lebih banyak kawasan hutan agar perencanaan dan pengelolaan yang mereka lakukan
bermanfaat bagi mereka. Pembagian saat ini yang meliputi 5.000 ha kawasan hutan
tidak memberikan insentif bagi ke-56 pemerintah distrik untuk mengupayakan pengelolaan
berkelanjutan. Tanggung jawab terhadap kawasan hutan lokal diberikan kepada pemerintah
lokal pada tahun 1998; tetapi sumberdaya yang berkaitan untuk pengelolaannya
tidak diberikan. Pegawai teknis tetap berada di pusat, dan distrik menghubungi
mereka untuk meminta pertimbangan. Tetapi distrik menginginkan pegawai mereka
sendiri dengan siapa mereka dapat menuntut pelayanan.
Meskipun Undang-undang Pemerintah Lokal memberi
wewenang kepada mereka untuk merekrut pegawai, sector kehutanan bukanlah
prioritas utama dengan adanya tekanan finansial. Di bawah undang-undang yang sekarang,
Dinas Kehutanan Distrik akan memungkinkan pemerintah untuk membayar gaji
pegawai utama kehutanan di tingkat lokal. Sebuah skema insentif dibutuhkan bagi
pemilik pribadi hutan. Perhitungan menunjukkan bahwa 50 persen hutan alami
terdegradasi. Oleh karena itu, investasi harus diarahkan kepada upaya perbaikan
dan tanggung jawab pengelolaan hutan alami yang masih tersisa. Diperlukan tindakan
afirmatif berupa penyediaan dana/grant bagi pemerintah lokal karena hutan
menghasilkan manfaat penting bagi publik seperti perlindungan daerah aliran
sungai dan konservasi tanah. Namun demikian, beberapa distrik mulai membiayai
sektor kehutanan untuk pembangunan kemasyarakatan (community development).
Mereka mulai melakukan pembibitan (meskipun dalam jumlah kecil) untuk
menyediakan bibit bagi masyarakat lokal, sering kali tanpa memungut bayaran.
Jika pemerintah pusat sungguh-sungguh dalam mendesentralisasikan hutan, penting
kiranya untuk mengkondisikan sejumlah pembagian hasil pendapatan untuk
pembangunan-pembangunan seperti ini. Sektor-sektor lain mulai dengan cara ini.
Proses
desentralisasi di Uganda berhasil dalam bidang pendidikan, kesehatan, jalan dan
pertanian sektor-sektor yang merupakan
prioritas utama bagi pemerintah pusat. Sektor kehutanan berada di bagian bawah
daftar bahkan bagi pemerintah local sekalipun. Kecuali hutan didesentralisasi,
bersama dengan sumberdaya untuk mengelolanya, pemerintah lokal nampaknya tidak
akan memberi perhatian di luar perhatian pada pengambilan hasil hutan untuk
memperoleh pendapatan. Proses desentralisasi pengelolaan hutan harus mengakui
bahwa kesalahan mungkin dilakukan oleh pemerintah di kedua tingkat. Apa yang harus
dilakukan oleh proses desentralisasi adalah membatasi cakupannya (ruang dan
waktu) dan berkonsentrasi pada membangun kepercayaan di antara pelaku utama.
Pada waktunya, pemerintah lokal akan membangun kapasitas dan percaya diri
mereka, dan pemerintah pusat akan dapat menghargai manfaat dari berbagi tanggung
jawab pengelolaan hutan. Bagaimana pun juga, hutan dalam ekosistem yang rapuh
sering kali tidak menghasilkan keuntungan yang mencukupi dibandingkan dengan sektor
pemanfaatan lahan seperti pertanian. Karena itu, pemerintah pusat harus
menetapkan pendanaan, apakah melalui pemerintah lokal atau melalui badan
semi-otonom seperti Otoritas Kehutanan Nasional atau Otoritas Hidupan Liar Uganda.
Itu
adalah salah satu alasan mengapa kewenangan untuk menguasai hutan bagi rakyat
Uganda dikuasakan kepada dua tingkat pemerintahan. Proses revisi konstitusi
yang sedang berjalan bisa menghapuskan kerancuan yang ada saat ini dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan. Hal ini kemudian akan
memungkinkan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk bisa giat bekerja mengembangkan
kapasitas bagi pengelolaan hutan berkelanjutan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
-
Kato,
D. (1997) ‘Uganda’s experience in the use of service delivery surveys’. Makalah
pada
Eighth International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru.
-
Ministry
of Water, Lands and Environment (2001) Uganda Forestry Policy. Ministry of Water,
Lands and Environment, Kampala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar