Senin, 29 Juni 2015

“ Bentuk Desentralisasi (Defolusi Finansial) di Uganda”



Desentralisasi, Devolusi Pengelolaan Hutan di Negara Uganda
Steve Amooti Nsita

I.         PENDAHULUAN
Pemerintah lokal di Uganda mengelola 5.000 ha kawasan hutan lokal dan mengawasi hutan di lahan privat, yang meliputi 70 persen kawasan hutan Uganda. Sepuluh tahun setelah diperkenalkannya proses desentralisasi di Uganda, desentralisasi tidak benar-benar menjangkau hutan. Permasalahannya adalah bahwa desentralisasi tidak diuji coba dalam waktu yang cukup lama untuk memberikan kepercayaan diri kepada kedua pihak (pemerintah pusat dan pemerintah lokal) dan untuk memberi pemerintah lokal waktu dalam mengembangkan kapasitas mereka. Friksi antara Departemen Kehutanan pemerintah pusat dengan pemerintah local berlanjut karena undang-undang yang mengatur pemerintahan lokal dan yang mengatur kehutanan tidak menjelaskan apakah hutan didesentralisasi atau tidak. Kebingungan yang terjadi telah menyebabkan kemerosotan hutan melalui pengambilan hasil secara ilegal dan pelanggaran batas untuk pertanian dan permukiman.
Kawasan hutan lokal yang ditetapkan pada tahun 1998 tidak dilimpahkan kepada pemerintah lokal dengan sumberdaya yang berkaitan untuk mengelolanya. Hasilnya, pemerintah lokal tidak mengambil tanggung jawabnya. Kawasan ini juga mengalami penjarahan hebat. Setelah desentralisasi hampir tidak ada investasi public atau swasta di tingkat hutan. Meskipun demikian, kemungkinan adanya keuntungan finansial perorangan menunjukkan permulaan dari investasi modal swasta di sektor kehutanan.

1.1.       PENGELOLAAN HUTAN DI UGANDA
Uganda (berpenduduk 24,7 juta jiwa) meliputi wilayah seluas 241.038 kilometer persegi. Lahan pertanian   subsisten mencakup 41 persen wilayah daratan; hutan meliputi 24 persen dan kawasan semak belukar mencakup7 persen. Selebihnya sebesar 28 persen terdiri dari padang rumput, air, tanah rawa, dan kawasan bangunan (Kementerian Pengairan, Lahan dan Lingkungan, 2001). Hutan mencakup 4,9 juta ha dan terdiri dari terutama (81 persen) kawasan woodland (ketinggian pepohonan 4 meter tetapi tutupan hutannya kurang dari 30 persen), dengan hutan tropis dataran tinggi (19 persen) dan perkebunan (kurang dari 1 persen). Tiga puluh persen hutannya dikelola oleh badan pemerintah (Departemen Kehutanan, yang telah ditata ulang sebagai Otoritas Kehutanan Nasional – the National Forestry Authority), pemerintah local dan Otoritas Hidupan Liar Uganda (the Uganda Wildlife Authority). Kawasan hutan permanen terdiri dari 1,9 juta ha, mewakili sekitar 9 persen dari total wilayah daratan Uganda (Kementerian Pengairan, Lahan dan Lingkungan, 2001). Ini mencakup seluruh kawasan hutan (1,2 juta ha) dan wilayah berhutan di dalam taman nasional (0,7 juta ha). Tujuhpuluh persen hutan dijumpai di lahan pribadi. Laporan badan kehutanan menunjukkan bahwa 50 persen hutan tropis dataran tinggi pada lahan pribadi terdegradasi, dan sebesar 17 persen hutan yang berada di kawasan lindung juga terdegradasi.
 Penyebab utama degradasi tersebut termasuk pengambilan kayu, kayu bakar dan arang kayu, dan penyerobotan lahan untuk pertanian dan pemukiman penduduk. Industri kehutanannya merupakan industri skala kecil dan hampir seluruhnya dimiliki oleh warga negara Uganda. Pasar juga sebagian besar pasar domestik, meskipun ekspor produk-produk hutan dengan nilai tambah semakin banyak, khususnya dalam wilayah Afrika. Telah jelas bahwa upaya untuk mengembangkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab seharusnya diarahkan kepada pemilik lahan pribadi yang ada hutannya.

1.2.       LATAR BELAKANG SEJARAH
Pengelolaan hutan di Uganda telah didesentralisasi dan diresentralisasi kembali berkali-kali sejak kemerdekaan pada tahun 1962 karena pemerintahan yang berbeda menerapkan kebijakan yang berbeda. Sampai akhir tahun 1990-an, pengelolaan hutan di Uganda terutama adalah persoalan publik, lebih kurang terbatas dalam kawasan hutan. Sebelum tahun 1967, dinas kehutanan lokal sangat aktif, yang mengelola kawasan hutan lokal, khususnya di bawah kerajaan-kerajaan yang telah membangun sistem pemerintahan yang koheren dan kuat. Pada saat itu, pemerintah lokal memiliki kewenangan untuk menentukan prioritas pembangunan wilayah mereka. Namun demikian, pemerintah pusat masih bertanggung jawab mengelola sejumlah kawasan hutan.
Pada tahun 1967, pemerintah Uganda menerapkan sebuah konstitusi negara republik, yang mensentralisasi hampir seluruh kewenangan pembuatan keputusan pemerintah. Konsekuensinya, seluruh kawasan hutan lokal menjadi kawasan hutan pusat. Pada tahun 1993, pemerintah melaksanakan kebijakan desentralisasi. Namun, segera terlihat jelas bahwa pemerintah lokal belum siap untuk memikul seluruh tanggung jawab pengelolaan hutan. Karena pemerintah lokal membutuhkan pendapatan untuk menjalankan kegiatan yang lebih mendesak seperti pendidikan, air dan kesehatan, yang juga telah didesentralisasi, mereka mulai memanen hutan tanpa mempertimbangkan pengelolaan yang terencana. Oleh karena itu kawasan hutan diresentralisasi pada tahun 1995, tetapi kali ini melalui perundang-undangan di bawah undang-undang pokok/ utama. Langkah ini kurang populer. Pemerintah lokal menentang dasar hukum (sekalipun di luar pengadilan) untuk meresentralisasi kawasan hutan dan menekan pemerintah pusat untuk mendesentralisasikan kembali kawasan hutan. Pada tahun 1995, Uganda menerapkan konstitusi yang baru. Konstitusi tersebut mencakup keseluruhan kebijakan desentralisasi tahun 1993; tetapi tetap ambivalen berkenaan dengan pengelolaan hutan.
Semenjak itu pemerintah lokal meminta kepada pemerintah pusat untuk mengalihkan seluruh kawasan hutan kepada mereka, dengan mengemukakan alasan (mungkin tepat) bahwa undang-undang hanya menetapkan pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan. Departemen Kehutanan memberi tanggapan bahwa pemerintah lokal tidak memiliki kapasitas dan cukup kemauan untuk mengelola kawasan hutan secara profesional.  Undang-undang Kehutanan Nasional dan Penanaman Pohon tahun 2003 mempertahankan tatanan keadaan tahun 1998; tetapi kali inimembentuk Otoritas Kehutanan Nasional yang semi-otonom. Jika Departemen Kehutanan telah bertanggung jawab atas seluruh aspek kehutanan negara, badan yang baru itu hanya akan mengelola kawasan hutan pusat. Kelihatannya pemerintah lokal menerima pendekatan ini. Hasil dari perubahan ini bermacam-macam. Setelah kemerdekaan, kawasan hutan lokal berjalan secara efisien, seperti juga kegiatan pemerintahan lainnya. Sampai pertengahan tahun 1970-an, kawasan hutan dikelola dengan baik meskipun tersentralisasi. Setelah itu, efisiensi tergantung kepada sumberdaya yang tersedia dari pemerintah pusat. Kawasan hutan tidak pernah didesentralisasi cukup lama untuk dapat membuat penilaian mengenai dampak dari desentralisasi terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan.
Sektor-sektor lain yang didesentralisasi khususnya kesehatan, pendidikan dan jalan raya – masih tergantung pada bantuan dana dari pemerintah pusat, yang tetap mempunyai pengaruh yang kuat atas hal-hal di tingkat lokal. Sektor kehutanan tidak mungkin berbeda sampai pemerintah lokal membangun basis pendapatan sendiri yang memadai.

1.3.  DESENTRALISASI DI UGANDA
Bentuk desentralisasi yang dikenal secara luas di Uganda adalah devolusi finansial dan kewenangan pembuatan keputusan kepada struktur subnasional di berbagai tingkat. Bagi daerah pedesaan, hirarki pemerintah lokal dari distrik (tingkat administratif sub-nasional yang utama) turun ke county, sub-county, parish dan terakhir, desa. Di daerah perkotaan, tingkatannya adalah kota, bagian kota (city division), dewan kotamadya, dewan kota kecil (town), ward dan desa. Pasal 176(b) Konstitusi Republik Uganda tahun 1995 menyatakan: desentralisasi harus menjadi prinsip yang diterapkan pada seluruh tingkat pemerintah local dan, khususnya, dari unit pemerintah local yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah untuk menjamin partisipasi masyarakat dan kontrol demokratik dalam pembuatan keputusan. Oleh karenanya, maksud dari Undang-undang Pemerintah Lokal Tahun 1997, adalah sebagai berikut: “untuk melaksanakan desentralisasi dan devolusi fungsi, kewenangan dan pelayanan; untuk melaksanakan desentralisasi di seluruh tingkat pemerintah lokal; untuk menjamin tata kelola yang baik dan partisipasi yang demokratis dalam, dan kontrol terhadap, pembuatan keputusan oleh masyarakat.
Meskipun dekonsentrasi melimpahkan sebagian besar kegiatan sehari-hari dari pemerintah pusat, seluruh keputusan penting masih dibuat pemerintah pusat. Departemen Kehutanan telah melakukannya sejak lama. Sebagai contoh, pejabat kehutanan distrik melaksanakan sebagian besar tanggung jawab operasional, seperti perencanaan pengelolaan hutan, menyusun anggaran dan supervisi tingkat kerja lapangan kehutanan; tetapi rencana pengelolaan hutan dan anggaran harus disetujui oleh kepala Departemen Kehutanan di Kampala.
Tujuan umum dari desentralisasi di Uganda adalah sebagai berikut (Kato, 1997):
v  Melimpahkan kewenangan yang sesungguhnya kepada distrik sehingga mengurangi beban pejabat-pejabat pemerintah pusat dengan sumberdaya terbatas di daerah terpencil;
v  Menempatkan kontrol politik dan administratif atas pelayanan dimana pelayanan itu diberikan, dan dengan demikian mengurangi persaingan kewenangan di pusat serta meningkatkan akuntabilitas dan efektivitas;
v  Membebaskan pengelola lokal dari tekanan pusat sehingga memungkinkan mereka untuk mengembangkan struktur organisasi yang disesuaikan dengan keadaan lokal;\ Meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab finansial dengan membangun mata rantai yang jelas antara pembayaran pajak dan penyelenggaraan pelayanan yang dibiayai oleh pajak;
v  Merestrukturisasi aparat pemerintahan agar administrasi negara menjadi lebih efektif; dan
v  Membangun demokrasi agar aparat pemerintah menjadi lebih efisiendan produktif dengan melibatkan masyarakat di seluruh tingkatan.

1.4.       PERKEMBANGAN HUKUM YANG MENENTUKAN BENTUK DESENTRALISASI
Sampai akhir tahun 1990-an, pengelolaan hutan sebagian besar merupakan fungsi dari pemerintah pusat. Pengelolaan yang terencana hampir seluruhnya dilaksanakan hanya di kawasan hutan. Hampir tidak terdapat pengelolaan hutan yang terencana pada lahan pribadi sampai perusahaan swasta dan individu mulai mendapatkan izin untuk mengusahakan hutan tanaman industri mereka sendiri di kawasan hutan padang rumput pada pertengahan tahun 1990-an. Sebelum tahun 1967, ketika pemerintah menghapuskan konstitusi
federal yang dibuat pada saat kemerdekaan, sebagian besar kawasan hutan dikelola melalui mekanisme desentralisasi.
Mekanisme ini terutama tipe dekonsentrasi, yang mana pejabat distrik melakukan sebagian besar pekerjaan tanpa pengawasan pusat, asal rencana tahunan dan anggaran telah disetujui dan dipatuhi. Alokasi finansial dilaksanakan melalui keputusan departemen pemerintah pusat setelah rencana dan anggaran disetujui. Terkecuali ada perbedaan yang signifikan dalam rencana kerja tahunan, distrik biasanya beroperasi lebih kurang secara mandiri. Saat itu terdapat pemerintah lokal yang sangat aktif, yang membangun sistem yang koheren sejak masa penjajahan: mereka merencanakan dan melaksanakan seluruh kegiatan di distrik, menghimpun dan mengeluarkan hasil pendapatan, mengangkat dan memecat pegawai mereka sendiri, dan mereka bahkan memiliki struktur gaji sendiri, yang berbeda dari pegawai negeri pemerintah pusat.
Pada tahun  1967, pemerintah menerapkan sebuah konstitusi Negara republik, yang mensentralisasi hampir seluruh kewenangan pembuatan keputusan pemerintah. Sekarang, seluruh kawasan hutan dikelola oleh Departemen Kehutanan, dan seluruh kewenangan pembuatan keputusan pemerintah lokal berkenaan dengan pengelolaan hutan, termasuk hutan pada lahan publik, telah diambil. Pada masa ini, Uganda memiliki salah satu dinas pengelolaan hutan yang terbaik di Afrika. Meskipun pengelolaannya tersentralisasi, kawasan hutan dikelola dengan baik. Segala sesuatunya memburuk ketika pemerintah digulingkan oleh militer pada tahun 1971. Pada tahun 1993, pemerintah sepenuhnya memulai proses desentralisasi melalui Undang-undang Pemerintah Lokal (Resistance Councils) Tahun 1993.
Undang-undang ini mendesentralisasikan pengelolaan hutan. Namun, segera terlihat jelas bahwa pemerintah lokal tidak siap untuk terlibat dalam pengelolaan hutan secara profesional. Mereka melihat hutan sebagai sumber pendapatan untuk membiayai kegiatan pembangunan di sektor-sektor lain seperti kesehatan, pendidikan dan jalan yang telah didesentralisasi (lihat kasus Indonesia, Bab 7). Hasilnya, hutan diresentralisasi pada bulan Desember 1995 melalui Undang-undang (Statutory Instrument) No 52. Pada saat ini, pejabatpejabat lokal telah sangat sadar akan kekuasaan mereka, dan massa pemilih memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keputusan pemerintah.
Masyarakat mulai menjarah kawasan hutan dengan persetujuan diam-diam dari pemimpin terpilih mereka, dan pemanen ilegal melaksanakan kegiatan mereka secara terbuka (khususnya kayu dan arang). Segera, sejumlah pegawai Departemen Kehutanan, merasa berhadapan dengan tekanan politik yang menginginkan digesernya mereka, secara diam-diam bergabung dengan pemimpin terpilih untuk berkonspirasi dengan para penjarah dan pedagang hasil hutan ilegal. Sejak saat itu, Departemen Kehutanan tidak pernah mampu membalikkan keadaan ini. Kenyataannya, sebagian besar kasus-kasus berat penjarahan dan pemanenan secara ilegal di Uganda saat ini dimulai atau meluas selama masa pemilihan umum. Persoalan penjarahan yang membandel di kawasan hutan South Busoge dan Luwunga makin menjadi. Sebagai contoh, bahkan setelah pemerintah memenangkan kasus pengadilan melawan penjarah di Luwunga, pemimpin politik local membuat keputusan pengadilan itu mustahil dilaksanakan; karenanya, kewenangan yang didesentralisasi menyebabkan kegagalan mekanisme peradilan. Itulah kemungkinan mengapa konstitusi tahun 1995 ambivalen berkenaan dengan pengelolaan hutan. Satu klausul memberikan wewenang kepada ‘Pemerintah atau pemerintah lokal sebagaimana ditetapkan oleh parlemen berdasarkan undang-undang’ untuk menguasai hutan sebagai wakil dari masyarakat Uganda.
Klausul lainnya membiarkan kebijakan  atas hutan dan taman buru serta ‘lingkungan’ di bawah pemerintah pusat, tetapi tanpa menyebut hutan. Sehingga, hutan merupakan salah satu di antara ‘fungsi dan pelayanan lainnya yang tidak ditentukan’ yang pengelolaannya jatuh ke dewan distrik. Pihak legislative gagal mengambil langkah konstitusional yang tegas. Mereka memahami kebutuhan untuk melindungi hutan; tetapi mereka  juga tidak dapat berlawanan secara terbuka dengan orang-orang yang memilih mereka. Proses konstitusional gagal menyelesaikan aspek social pengelolaan hutan berkelanjutan. Karena pemerintah local tidak pernah benar-benar menerima resentralisasi yang terjadi tepat sebelum konstitusi diumumkan, Undang-undang Pemerintah Lokal Tahun 1997 secara khusus menyebutkan hutan sebagai sebuah fungsi dari pemerintah lokal. Hal ini secara efektif mendesentralisasikan hutan kembali. Pemerintah kemudian membentuk kawasan hutan pusat dan lokal dalam upayanya menenangkan pemerintah lokal dan pendukung rahasia mereka di tingkat pusat. Tetapi wilayah yang tercakup kecil: ada 192 lokasi kawasan hutan lokal, tetapi luas seluruhnya hanya di bawah 5.000 ha, bandingkan dengan 542 lokasi kawasan hutan pusat yang luas keseluruhannya 1.455.130 ha. Jadi, kebuntuan tidak  dapat diatasi dan ketegangan sosial antara pegawai dengan masyarakat yang tinggal dekat hutan berlanjut.
Pada bulan Juli 1993, Undang-undang Penguasa Tradisional (Ganti Rugi Asset dan Kepemilikan) seharusnya membuka jalan bagi penguasa tradisional untuk mengklaim kembali hutan yang menjadi milik kerajaan mereka sebelum 1967. Tetapi penguasa tradisional tidak mempunyai kewenangan secara hukum untuk menguasai kawasan hutan karena Undang-undang Pemerintah Lokal tidak menetapkan lembaga tradisional sebagai pemerintah lokal secara hukum. Karenanya, pada tahun 2001, sebuah perintah eksekutif di bawah sebuah kesepakatan bersama Antara pemerintah pusat dan otoritas Kerajaan Bunyoro untuk mengembalikan sejumlah kawasan hutan kepada raja tidak dapat dilaksanakan.
Meskipun pimpinan Departemen Kehutanan memberi otoritas kerajaan izin tertulis untuk mengambil alih pengelolaan sebuah kawasan hutan, jaksa agung menyatakan bahwa kerajaan tidak dapat menguasai kawasan hutan manapun sebagai wakil dari rakyat Uganda. Namun, Departemen Kehutanan tidak memiliki dukungan politik yang cukup untuk mengklaim kawasan hutan tersebut. Mengambil keuntungan dari kebuntuan itu, kerajaan tetap melanjutkan kegiatan penebangan kayu dengan cara yang tidak terkendali, menyebabkan degradasi hutan tanaman industri untuk keuntungan finansial beberapa individu (lihat Bab 4). Bahkan Kebijakan Kehutanan Tahun 2001 pun tidak tegas. Sebagai contoh, dikatakan: akan dilakukan upaya-upaya untuk memperjelas peran dari pemerintah lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan… segala kerancuan dan kontradiksi ketentuan-ketentuan dalam Konstitusi, Undang-undang Pemerintah Lokal dan Undang-undang Pertanahan berkenaan dengan peran dari distrik dalam pembangunan sector hutan akan diselesaikan.
Undang-undang Kehutanan Nasional dan Penanaman Pohon Tahun 2003 berusaha untuk memperjelas kerancuan ini dengan membedakan kawasan hutan pusat (dikelola oleh Otoritas Kehutanan Nasional), kawasan hutan lokal dan hutan komunitas (dikelola oleh pemerintah lokal) dan hutan privat. Sekarang pemerintah lokal dapat secara langsung  menghimpun dan menggunakan hasil pendapatan yang dulu biasanya masuk ke rekening gabungan pemerintah pusat. Masih terlalu awal untuk mengatakan bagaimana kebijakan dan undang-undang baru itu akan mempengaruhi pengelolaan hutan.
 Namun, pihak-pihak yang terlibat nampaknya telah puas dengan pengaturan tersebut. Diskusi hangat akan muncul ketika membicarakan pembagian hutan secara adil antara pemerintah lokal dan Otoritas Kehutanan Nasional; tetapi ketika hal itu telah disetujui, semua pihak akan mulai untuk ikut bekerja sama menuju pengelolaan hutan berkelanjutan.

II.            KERANGKA KERJA HUKUM DAN KELEMBAGAAN LAINNYA
2.1.       Undang-undang Pertanahan Tahun 1998
Bersumber dari Pasal 237 Konstitusi 1995, Undang-undang Pertanahan menguasakan kepemilikan tanah kepada warga negara Uganda; tetapi, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, pemerintah pusat dan lokal dapat menguasai kawasan hutan dan sumberdaya alam lainnya atas nama seluruh rakyat Uganda. Pejabat lokal bisa meminta pemerintah pusat untuk mengelola sumberdaya mereka yang mana pun; namun demikian, sejauh ini, tidak satupun yang secara formal meminta untuk diterapkannya ketetapan konstitusional ini.
Dalam menggunakan hak mereka untuk mengelola sumberdaya tersebut, pemerintah pusat dan lokal ‘tidak boleh menyewakan atau bahkan menghilangkan sumberdaya alam mana pun’ yang mereka kuasai atas nama masyarakat. Namun, mereka boleh memberikan ijin konsesi atau izin untuk memanfaatkan sumberdaya. Undang-undang ini memberi wewenang kepada masyarakat untuk menggunakan lahan yang mereka miliki dalam cara apa pun asal sesuai dengan hukum lain yang berlaku. Berkaitan dengan kehutanan, hukum yang sangat umum dirujuk berhubungan dengan hutan, lingkungan dan hidupan liar. Masyarakat juga dapat mengakses kawasan hutan melalui hak guna, tetapi kawasan hutan ini tidak dapat dirubah status hukumnya (degazetted) tanpa persetujuan parlemen. Undang-undang ini membentuk dewan pertanahan di tingkat distrik dan Komite Pertanahan di tingkat parish untuk menangani pengalihan kepemilikan, penyelesaian konflik, alokasi lahan yang tidak dimiliki oleh siapapun dan meninjau besaran kompensasi, serta persoalan-persoalan yang lain. Sebagian besar kewenangan dan tanggung jawab yang sebelumnya ada di pusat sekarang telah didesentralisasi. Karena implikasi finansial yang tidak diantisipasi, implementasi sejumlah aspek ditunda. Karena itu, masih terlalu dini untuk mengukur pengaruh dari undang-undang tersebut terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan. Namun, yang jelas adalah bahwa banyak dewan kotamadya dan dewan kota kecil (town) cukup kuat menekan Departemen Kehutanan untuk merubah status hukum (degazette) kawasan hutan di  daerah perkotaan. Undang-undang memperbolehkan hal tersebut, tetapi memerlukan persetujuan dari parlemen. Tidak ada pemerintah lokal yang sejauh ini telah meminta persetujuan parlemen; tetapi mereka secara diamdiam memperbolehkan kawasan hutan perkotaan untuk dibangun: di daerah perkotaan/urban, pembangunan lebih diinginkan daripada lahan terbuka.

2.2.       Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Tahun 1995
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan tersebut membentuk Otoritas Pengelolaan Lingkungan Nasional dan membuatnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan dilakukan dalam cara yang ramah lingkungan. Undang-undang ini memungkinkan pembentukan komite lingkungan pemerintah lokal untuk mengkoordinasikan kegiatankegiatan di berbagai tingkat lokal.
Undang-undang ini memungkinkan penanaman pohon secara sukarela demi tujuan yang berhubungan dengan lingkungan oleh pemilik lahan. Namun, jika komite lingkungan menganggap suatu wilayah beresiko mengalami degradasi lingkungan, komite itu dapat memaksa pemiliknya untuk menanam pepohonan. Sebenarnya undang-undang ini mendesentralisasikan kewenangan secara substansial kepada pemerintah lokal melalui komite lingkungan. Namun, Otoritas Pengelolaan Lingkungan Nasional dapat campur tangan jika lembaga lokal dan individu gagal memenuhi tanggung jawab mereka. Undang-undang ini terkait dengan Undang-undang Kehutanan dengan mengharuskan pengelolaan semua hutan sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Undang-undang ini mengatur hubungan antara Otoritas Pengelolaan Lingkungan Nasional dengan badan utama kehutanan (saat ini adalah Departemen Kehutanan). Hubungan ini sekarang tidak jelas karena Undang-undang kehutanan yang baru membentuk banyak ‘badan-badan utama’.
Meskipun mayoritas tingkat pemerintah lokal memiliki komite lingkungan, sebagian besar mereka masih tetap tidak efektif karena anggotanya tidak diberi kompensasi. Lingkungan jadinya menjadi topic yang populer hanya dalam pertemuan pertemuan publik: sesungguhnya mencegah pengambilan kayu dan penanaman wetlands yang membahayakan lingkungan hidup masih sangat tidak populer. Pemimpin politik lokal menganggap bahwa memalingkan muka/pura-pura tidak tahu jika konstituen mereka melanggar hukum lingkungan merupakan langkah yang tepat.

2.3.       Undang-undang Hidupan Liar Uganda Tahun 1996
Undang-undang ini mendefinisikan hidupan liar (wildlife) sebagai ‘setiap tanaman liar atau hewan liar spesies asli Uganda’ dan menempatkan ‘kepemilikan setiap hewan liar dan tanaman liar yang berada di habitat liarnya di Uganda’ di tangan pemerintah untuk kepentingan rakyat Uganda. Hal ini nampaknya untuk mensentralisasi pengelolaan seluruh vegetasi alamiah di bawah Otoritas Hidupan Liar Uganda (the Uganda Wildlife Authority). Dalam prakteknya, otoritas ini mengelola hewan liar (bahkan di lahan privat), tetapi hanya mengelola tanaman liar yang berada di taman nasional dan kawasan cagar/suaka hidupan liar. Esensinya, tanggung jawab pengelolaan hidupan liar ini adalah terpusat. Namun, undang-undang ini juga memberi wewenang kepada pemerintah lokal untuk menunjuk komite yang akan memberi pertimbangan kepada Otoritas Hidupan Liar Uganda bagi pengelolaan dan pemanfaatan hidupan liar di dalam yurisdiksi lokal. Komite tersebut memainkan peran sebagai penasehat, dan untuk memberi pertimbangan kepada otoritas pusat sering kali lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.
2.4.       PELAJARAN YANG DIPETIK
2.4.1. Kerancuan dalam perundang-undangan
Kerancuan dalam perundang-undangan menyebabkan terjadinya perebutan antara Departemen Kehutanan dengan pemerintah lokal untuk mengontrol kawasan hutan. Hubungan antara badan pemerintah pusat dengan sejumlah distrik cukup tegang, dan kerjasama dalam perlindungan hutan masih tetap kurang. Departemen Kehutanan dijelek-jelekkan dalam banyak pertemuan/reli-reli politik, khususnya selama pemilihan umum. Pemimpin politik lokal sering kali diam-diam memberikan dukungan pada individu-individu yang sembrono yang menginginkan kepemilikan pribadi atas kawasan hutan, dan terus-menerus ada tekanan, sering kali dari individu, untuk merubah status hukum (degazette) kawasan hutan bagi peruntukan lainnya.

2.4.2. Proses reformasi sektor kehutanan
Pemerintah memutuskan untuk mereformasi sektor kehutanan pada tahun 1998, meskipun para pemangku kepentingan telah mendiskusikan hal ini sejak 1995. Dilakukan tinjauan terhadap sektor ini, diikuti oleh prosesproses partisipatif, yang menghasilkan Kebijakan Hutan Tahun 2001 dan Undang-undang Kehutanan Nasional dan Penanaman Pohon Tahun 2003. Perundang-undangan ini memungkinkan dilaksanakannya reformasi kelembagaan, membawa kepada pelembagaan tanggung jawab untuk mengelola hutan oleh empat pelaku utama: Otoritas Kehutanan Nasional (the National Forestry Authority), Otoritas Hidupan liar Uganda (the Uganda Wildlife Authority), pemerintah lokal dan pemilik hutan pribadi/ swasta. Tanggung jawab dari pejabat lokal dan pemilik hutan pribadi dikuasakan kepada dinas kehutanan distrik, bagian dari pemerintah local yang bertanggung jawab atas pengelolaan hutan. Aspek yang paling sulit dari proses reformasi ini adalah mencapai kesepakatan atas susunan kelembagaan Otoritas Kehutanan Nasional dan dinas kehutanan distrik. Akibatnya, moral para pegawai Departemen Kehutanan runtuh, dan menjadi sangat sulit untuk memelihara disiplin dalam pengelolaan hutan di tingkat lapangan. Para oportunis di sector swasta dan publik mengambil keuntungan dari keadaan yang terus menerus berubah ini untuk merusak hutan. Komunitas lokal menggunakan kekuatan voting mereka untuk memaksa para politisi agar mendukung perambahan illegal atas kawasan hutan. Sumberdaya hutan telah mengalami kerusakan berat yang membuat banyak orang bertanya-tanya apakah hasil reformasi ini (yang masih jauh dari selesai) sepadan dengan kerusakan yang telah ditimbulkannya.
 4.2.3. Pembiayaan pengelolaan hutan berkelanjutan
4.2.3.1. Pembiayaan public
Banyak kegiatan kehutanan didanai oleh pemerintah dan mitra pembangunannya. Jenis pembiayaan ini sekarang secara tetap ditransfer ke dalam anggaran pendukung dan akan digunakan melalui mekanisme alokasi dan sektoral. Sayangnya, sector kehutanan nampaknya kalah dengan sektor pendidikan, kesehatan, jalan, pertanian dan sektor lainnya yang memiliki prioritas yang lebih tinggi bagi pemerintah. Kondisi yang sama tampaknya akan terjadi di tingkat lokal ketika desentralisasi pengelolaan hutan akhirnya mulai berakar.
Sekalipun kewenangan pembuatan keputusan secara otonom dimiliki pemerintah lokal, sebagian besar anggaran mereka (sampai dengan 90 persen di banyak distrik) masih berasal dari pemerintah pusat melalui grant/dana bantuan dan dari pihak donor. Oleh karena itu, prioritas mereka serupa dengan prioritas pemerintah pusat, dan bahkan distrik yang hutannya merupakan sumber potensial bagi pendapatannya tidak melakukan investasi dalam pembangunan sumberdaya tersebut. Kenyataannya, banyak pejabat lokal mengeluh bahwa ketika pemerintah pusat menetapkan kawasan hutan, pemerintah pusat tidak mentransfer sejumlah sumberdaya yang berkaitan (upah/gaji dan dana operasional) untuk memungkinkan pengelolaan yang efektif. Karena hanya sedikit yang dapat diambil dari kawasan hutan ini, kawasan itu dibiarkan tidak terkelola, dan lebih buruk lagi, banyak di antaranya dirambah lagi. Namun demikian, pendanaan dari donor sekarang dapat langsung disalurkan melalui pemerintah distrik. Sektor kehutanan telah mendapatkan keuntungan; tetapi jenis pendanaan ini terbatas kepada beberapa distrik dengan situasi khusus, seperti pengungsi dan yang rawan bencana alam. Namun, ketika Dinas Kehutanan Distrik yang baru telah beroperasi penuh, kemungkinan akan lebih banyaknya pendanaan publik yang akan sampai ke distrik akan lebih besar lagi. Mereka juga akan mampu menghimpun lebih banyak pendapatan kehutanan.
Pada tahun 1996 pemerintah mengizinkan Departemen Kehutanan untuk memberikan 40 persen dari pendapatan kotor yang dihimpun dari hasil hutan langsung kepada distrik. Diharapkan bahwa hal itu akan mendorong investasi kembali hasil pendapatan sektor kehutanan di wilayah setempat dimana pendapatan itu dihasilkan. Dan jika dihimpun dan diinvestasikan kembali dengan benar, bagi hasil yang diperoleh pemerintah distrik akan memberikan pengaruh yang substansial. Sebagai contoh, 40 persen hasil pendapatan yang berasal dari royalti kayu gelondongan dari hutan tanaman industri pinus antara bulan Juli–Desember 2003 mencapai sebesar 400 juta shilings Uganda (1 US$ setara dengan 1960 shilings Uganda pada bulan November 2003).
Di distrik-distrik dengan pendapatan dari hutan yang cukup besar, popularitas petugas kehutanan distrik meningkat; tetapi setelah pengaduan keberatan dari komunitas yang tinggal dekat dengan hutan bahwa mereka tidak melihat dikemanakan uangnya, pejabat distrik mulai membiayai sejumlah kegiatan – terutama kendaraan bagi para petugas dan tunjangan biaya hidup bagi beberapa pegawai. Beberapa distrik mulai menggunakan dana bantuan yang berasal dari pemerintah pusat untuk mendanai pembibitan di tingkat lokal. Kemajuannya cukup baik, meskipun seharusnya dapat lebih cepat lagi.

4.2.3.2. Investasi masyarakat
Dimana terdapat manfaat finansial yang jelas bagi individu, mereka telah menginvestasikan sumberdaya mereka sendiri. Di distrik Bushenyi, asosiasi penebangan kayu lokal melacak keberadaan pedagang kayu illegal dan melaporkan mereka kepada staf Departemen Kehutanan. Mereka termotivasi oleh meningkatnya harga kayu, yang berarti keuntungan yang lebih besar bagi anggotanya pada penjualan hasil tebangan kayu secara legal.
Kebutuhan akan pembiayaan publik masih tetap ada jika masyarakat ingin melihat keuntungan tidak nyata jangka panjang dari hutan dan harus melakukan investasi dalam pengelolaan hutan dengan biaya sendiri. Karena kemiskinan mereka, argumennya harus lebih dari sekedar alasan ‘yang lebih baik’. Usaha-usaha untuk meningkatkan pendapatan dan proyek-proyek kemasyarakatan (seperti peralatan perkakas sekolah atau klinik lokal) telah diupayakan; tetapi tidak ada bukti tertulis bahwa semua itu mengilhami pengelolaan hutan yang baik.

    KESIMPULAN

Desentralisasi sebagai prinsip dan penerapan atas pengelolaan sejumlah urusan masyarakat telah dilakukan di Uganda; tetapi para rimbawan masih khawatir, dan pemerintah lokal tidak percaya maksud dari pelimpahan secara cepat atas kawasan hutan sebagaimana disebutkan dalam perundang-undangan. Titik temu yang tidak dapat disangkal lagi dari seluruh tingkat pemerintahan adalah pada tingkat komunitas akarrumput. Karena itu, kegiatan-kegiatan pada tingkat ini nampaknya secara bertahap menghilangkan ketidakpercayaan itu, khususnya jika fokusnya adalah pada memperbaiki kehidupan masyarakat. Kepemilikan lahan kelihatannya bertalian erat dengan hak guna.
Sebagian besar masyarakat tidak hanya menginginkan agar mendapat hak untuk memanfaatkan hutan; mereka juga menginginkan untuk memiliki lahan tersebut dan untuk dapat mengubah pemanfaatan lahan sesuai dengan keinginan. Untuk mencapai tujuan ini, massa pemilih mengambil keuntungan dari kekuatan mereka untuk memaksa para politisi agar mendukung kepemilikan privat atas lahan di wilayah kawasan hutan dan kawasan lindung lainnya. Pejabat lokal lebih rentan terhadap paksaan ini dari pada kolega mereka di pusat. Karena itu, solusinya mungkin tetap dipertahankannya ekosistem hutan yang kritis di bawah kontrol pusat melalui Otoritas Kehutanan Nasional (bandingkan dengan Bab 6). Namun, kepada pemerintah lokal harus diberikan lebih banyak kawasan hutan agar perencanaan dan pengelolaan yang mereka lakukan bermanfaat bagi mereka. Pembagian saat ini yang meliputi 5.000 ha kawasan hutan tidak memberikan insentif bagi ke-56 pemerintah distrik untuk mengupayakan pengelolaan berkelanjutan. Tanggung jawab terhadap kawasan hutan lokal diberikan kepada pemerintah lokal pada tahun 1998; tetapi sumberdaya yang berkaitan untuk pengelolaannya tidak diberikan. Pegawai teknis tetap berada di pusat, dan distrik menghubungi mereka untuk meminta pertimbangan. Tetapi distrik menginginkan pegawai mereka sendiri dengan siapa mereka dapat menuntut pelayanan.
 Meskipun Undang-undang Pemerintah Lokal memberi wewenang kepada mereka untuk merekrut pegawai, sector kehutanan bukanlah prioritas utama dengan adanya tekanan finansial. Di bawah undang-undang yang sekarang, Dinas Kehutanan Distrik akan memungkinkan pemerintah untuk membayar gaji pegawai utama kehutanan di tingkat lokal. Sebuah skema insentif dibutuhkan bagi pemilik pribadi hutan. Perhitungan menunjukkan bahwa 50 persen hutan alami terdegradasi. Oleh karena itu, investasi harus diarahkan kepada upaya perbaikan dan tanggung jawab pengelolaan hutan alami yang masih tersisa. Diperlukan tindakan afirmatif berupa penyediaan dana/grant bagi pemerintah lokal karena hutan menghasilkan manfaat penting bagi publik seperti perlindungan daerah aliran sungai dan konservasi tanah. Namun demikian, beberapa distrik mulai membiayai sektor kehutanan untuk pembangunan kemasyarakatan (community development). Mereka mulai melakukan pembibitan (meskipun dalam jumlah kecil) untuk menyediakan bibit bagi masyarakat lokal, sering kali tanpa memungut bayaran. Jika pemerintah pusat sungguh-sungguh dalam mendesentralisasikan hutan, penting kiranya untuk mengkondisikan sejumlah pembagian hasil pendapatan untuk pembangunan-pembangunan seperti ini. Sektor-sektor lain mulai dengan cara ini.
Proses desentralisasi di Uganda berhasil dalam bidang pendidikan, kesehatan, jalan dan pertanian  sektor-sektor yang merupakan prioritas utama bagi pemerintah pusat. Sektor kehutanan berada di bagian bawah daftar bahkan bagi pemerintah local sekalipun. Kecuali hutan didesentralisasi, bersama dengan sumberdaya untuk mengelolanya, pemerintah lokal nampaknya tidak akan memberi perhatian di luar perhatian pada pengambilan hasil hutan untuk memperoleh pendapatan. Proses desentralisasi pengelolaan hutan harus mengakui bahwa kesalahan mungkin dilakukan oleh pemerintah di kedua tingkat. Apa yang harus dilakukan oleh proses desentralisasi adalah membatasi cakupannya (ruang dan waktu) dan berkonsentrasi pada membangun kepercayaan di antara pelaku utama. Pada waktunya, pemerintah lokal akan membangun kapasitas dan percaya diri mereka, dan pemerintah pusat akan dapat menghargai manfaat dari berbagi tanggung jawab pengelolaan hutan. Bagaimana pun juga, hutan dalam ekosistem yang rapuh sering kali tidak menghasilkan keuntungan yang mencukupi dibandingkan dengan sektor pemanfaatan lahan seperti pertanian. Karena itu, pemerintah pusat harus menetapkan pendanaan, apakah melalui pemerintah lokal atau melalui badan semi-otonom seperti Otoritas Kehutanan Nasional atau Otoritas Hidupan Liar Uganda.
Itu adalah salah satu alasan mengapa kewenangan untuk menguasai hutan bagi rakyat Uganda dikuasakan kepada dua tingkat pemerintahan. Proses revisi konstitusi yang sedang berjalan bisa menghapuskan kerancuan yang ada saat ini dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan. Hal ini kemudian akan memungkinkan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk bisa giat bekerja mengembangkan kapasitas bagi pengelolaan hutan berkelanjutan.
 

 DAFTAR KEPUSTAKAAN

-          Kato, D. (1997) ‘Uganda’s experience in the use of service delivery surveys’. Makalah
pada Eighth International Anti-Corruption Conference, Lima, Peru.
-          Ministry of Water, Lands and Environment (2001) Uganda Forestry Policy. Ministry of Water, Lands and Environment, Kampala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar