Mengkomunikasikan Injil Melalui Musik Tradisional Maluku
Seputar Pemanfaatan dan Pengembangan Musik Tradisional
sebagai Sarana Mengkomunikasikan Injil di Gereja Protestan Maluku
Oleh: Pdt. P.B. Salenussa, S.Si. Teol., M.Sn.
Pendahuluan
Pekabaran Injil dapat dimaknai
secara sederhana sebagai tugas untuk menyebarluaskan kabar atau berita sukacita
tentang keselamatan yang dikerjakan Allah melalui Yesus, yang kini dipercayakan
kepada Gereja. Tentunya kita semua memaklumi juga bahwa kekristenan yang hadir
di Maluku adalah buah dari pekabaran Injil. Melalui para misionaris Eropa,
Injil diberitakan dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga lahirlah Gereja
Protestan Maluku.
Pekabaran
Injil kerap juga dipandang sebagai suatu tugas menyebarkan kekristenan di
wilayah-wilayah yang belum mengenal Injil di mana masyarakatnya masih kuat
mempertahankan kebudayaan lokal. Meskipun kini kita telah tiba di era
modernisasi, namun tugas pekabaran Injil masih terus berlangsung, hanya saja
telah mengalami transformasi seiring perkembangan pemikiran teologis.
Hal penting yang perlu
disampaikan di sini, merujuk pada persoalan bagaimana mengkomunikasikan Injil
di masa sekarang ini. Tentunya perkembangan dunia juga turut memengaruhi
kehidupan manusia, baik pemikiran maupun perilaku sosialnya, termasuk juga cara
berteologi. Oleh sebab itu model-model pekabaran Injil juga harus disesuaikan
dengan perkembangan tersebut dengan cara mengkomunikasikan Injil secara tepat
dan kontekstual. Judul di atas ini
sengaja dipilih agar muatan aplikatifnya lebih terlihat, yakni bagaimana musik
tradisional dapat digunakan sebagai media mengkomunikasikan Injil secara
kontekstual.
A. Peristilahan
Seputar Musik Etnik
Ada beberapa istilah yang kerap
digunakan bila musik dihubungkan dengan budaya tertentu. Kita kerap mendengar
istilah: lagu rakyat, lagu tradisional, lagu daerah, lagu asli atau lagu
“tana”. Istilah ini kerap membingungkan kita sehingga cenderung orang
menyamaratakan semua itu atau menggeneralisasikannya dalam satu kandungan yang
kita sebut musik tradisional. Namun tentunya semua itu tidaklah sama persis.
Oleh sebab itu perlu dipahami secara lebih baik istilah-istilah tersebut agar
tidak rancu dalam penggunaannya.
1. Nyanyian Rakyat (folksong)
Terlalu luas bila kita membicarkan musik,
maka marilah kita membatasinya dengan menggunakan salah satu komponen dalam
musik yakni nyanyian. Kita kerap bertemu dengan istilah “nyanyian rakyat” atau
“lagu rakyat”. Jan Harold Brunvand,
mendefinisikan nyanyian rakyat (folksong) sebagai salah satu genre
atau bentuk dari folklor.[1] Folksong terdiri dari kata dan lagu dan
beredar secara lisan di antara anggota kelompok tertentu, berbentuk tradisional
serta banyak mempunyai varian. Salah satu variannya adalah near song
yang lebih menekankan lirik daripada lagu. Jenis folksong tersebut (near song) tergologn sebagai ’nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya’(contoh:Kapata).
Selain ’nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya’, ada juga ’nyanyian rakyat
yang sesungguhnya’ di mana lirik dan lagu sama-sama memegang peranan penting
dan berfungsi memberikan penjelasan atau menceritakan tentang aktifitas
kehidupan sehari-hari. Yang tergolong jenis ini adalah nyanyian kelonan (lullaby),
nyanyian kerja (working song), dan nyanyian permainan (play song).
Pada umumnya, lagu
rakyat dimaknai sebagai lagu-lagu yang
dipergunakan sehari-hari. Ciri-ciri mendasar dari lagu rakyat ini adalah,
bersifat anonim (penciptanya tidak dikenal), sederhana dan dikenal luas, serta
diklaim sebagai milik kolektif.[2] Penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa lagu
rakyat memiliki landasan sosial yang kuat meskipun tidak dilindungi oleh hak
cipta.
2. Lagu [bahasa]Tana
Diketahui bahwa
sekitar abad I – 1500 M mulai nampak kemajuan dalam bidang kesenian di Maluku.[3] Seni yang berkembang saat itu termasuk di dalamnya
kapata, yaitu nyanyian-nyanyian tana yang berhubungan dengan sejarah dan
kepercayaan (agama) serta pujaan terhadap keindahan dan kekayaan alam.[4]
Menurut
Tamaela, kapata ialah tradisi menutur
peristiwa dan sejarah masa lampau yang disampaikan secara setengah bernyanyi dan setengah berbicara.[5] Secara terminologis, kapata berasal dari kata Kapa Pata Tita. Ada pula yang mendefinisikannya
sebagai, “Ucapan tegas tak dapat
dirobah yang naik ke atas sebagai gunung berpucuk
tombak- tertuju kepada Allah.” Kapa artinya, puncak
gunung yang berbentuk tajam seperti jari telunjuk yang menunjuk ke langit; pata artinya : diputuskan, definif dan
tak dapat dirobah; sedangkan tita berarti : sabda atau ucapan tegas. [6] Jadi kapata
merupakan nyanyian asli Maluku sebagai bentuk ekspresi seni dan religius
dari masyarakat pra modern di Maluku.
3. Lagu Daerah
Istilah lain
yang juga digunakan adalah, “lagu daerah”. Dari segi bahasa, istilah daerah memang
berbeda dengan rakyat. Konsep daerah lebih bersifat politis sebab menunjukkan
batas-batas wilayah etnis tertentu. Bila istilah tersebut dipergunakan, maka
pemaknaan terhadap istilah tersebut dapat mengarah kepada lagu yang bersifat
kedaerahan. Itu berarti identitas etnis yang lebih mendapat tempat.
Dengan datangnya bangsa-bangsa dari Barat, Portugis
dan Belanda, maka orang Maluku mulai
menerima pengaruh-pengaruh Barat. Salah satu contoh adalah penggunaan
bahasa asli semakin berkurang di wilayah-wilayah tertentu terutama di desa-desa
yang telah menjadi Kristen. Terlepas dari aspek politis, penggunaan bahasa
Melayu sebagai bahasa pergaulan sehari-hari turut membuka ruang untuk proses
sosialisasi budaya baru secara lebih luas. Perkembangan lain yang juga dialami
pada masa kolonial adalah masuknya musik modern. Lagu-lagu rohani yang digunakan
dalam ibadah di jemaat-jemaat Kristen adalah lagu-lagu yang diadopsi dari
daratan Eropa dan menggunakan tangga nada diatonis. Lagu-lagu rakyat yang kerap
digunakan sehari-hari kemudian mengalami transformasi menjadi lagu daerah, seiring
perkembangan kehidupan sosial. Kebutuhan akan hiburan seiring dengan
berkembangnya musik teknologi, turut pula menyebabkan sehingga lagu-lagu daerah
lebih sering ditempatkan sebagai sarana hiburan. Kini kita lebih sering
mendengar istilah lagu pop daerah Maluku.
4. Alat Musik
Bila
kita berbicara tentang musik, maka setidaknya harus meliputi dua aspek yakni:
musik vokal dan instrumental. Di atas kita sudah berbicara tentang musik vokal
(nyanyian), maka di sini kita akan sedikit membahas tentang Alat musik. Orang
Maluku tidak dapat dipisahkan dari Tifa
dan tahuri (kuli bia). Pada dasarnya kedua alat musik itu masuk dalam kategori
tidak bernada jika dibunyikan secara sendiri-sendiri. Yang diutamakan hanyalah ritme sebagai penuntun.
Selain itu dikenal juga totobuang, suling, hawaian, ukulele, gitar, yang masuk
kategori bernada. Musik diatonis memang telah berkembang di Maluku sejak masa
masuknya orang Eropa. Hal itu ditandai dengan hadinya musik keroncong di Maluku
yang menjadi salah satu kiblat musik keroncong di Indonesia.
Secara keseluruhan, semua alat
musik yang disebutkan di atas dianggap sebagai alat musik tradisional Maluku. Memang
tidak dapat disangsikan demikian. Namun perlu dimengerti bahwa terminologi
tradisional di sini harus dipandang sebagai hasil warisan yang diturunkan dari
generasi ke generasi tanpa memperhitungkan sisi orisinalitasnya. Itu berarti
yang dimaksud musik tradisional di sini adalah musik sebagai hasil transmisi
antargenerasi dengan segala perkembangannya.
B. Berteologi
dengan Musik yang Kontekstual
Jika kita masih ingin menggunakan
istilah musik tradisional Maluku, maka marilah dengan lapang dada kita menerima
bahwa musik tradisional kita adalah musik yang telah mengalami adaptasi dan
percampuran dengan musik Barat, baik musik vokal maupun instrumentalnya. Artinya, sekalipun kita menganggapnya sebagai
kekayaan dan warisan budaya kita, tapi jelas tidak lagi dalam wujud yang asli.
Kita masih menemukan sedikit keaslian itu pada kapata (Maluku Tengah), foruk
(MTB), atau diarki (MBD) melalui ciri resitatifnya.
GPM telah meluncurkan buku
nyanyian jemaat yang di dalamnya terdapat berbagai bahasa di wilayah pelayanan GPM. Namun menurut saya,
hal itu tetap belum mewakili ciri musik etnik kita oleh karena tetap berciri
musik tonal yang tentunya produk Barat. Kalaupun ada, maka yang muncul hanyalah
bahasa sebagai pertanda bahwa ada corak etniknya. Itu berarti yang baru kita
lakukan hanyalah sebatas kontekstualisasi bahasa, bukan musik. Kalaupun kita
mencoba untuk menggunakan instrument (alat musik) yang kita klaim sebagai alat
musik tradisional, itupun masih ada celahnya, karena suling dan totobuang
memiliki tangga nada Barat.
Terlepas dari problem yang
disebutkan di atas, tidak berarti kita tidak bisa berteologi secara kontekstual
dengan menggunakan kekayaan musik kita. Kita harus tetap berdiri pada pijakan
teologi kita tentang nyanyian sebagai
media berteologi. Perbedaan kekristenan dengan agama lain adalah
Kekristenan telah menjadi
agama yang bernyanyi. Kekristenan tidak pernah tanpa musik. Ibadah
Kristen adalah ibadah yang bertema pujian dan ucapan syukur. Dasar peribadatan
Kristen yang kental dengan nyanyian ditemukan pada Kel. 15, ketika umat Israel
melewati laut Teberau. Kita harus betul-betul memaknai tentang nyanyian dalam
ibadah. Ada dua hal penting mengapa orang Kristen bernyanyi. Pertama, sebagai
respons kepada Tuhan [karena kita diselamatkan Tuhan].Kedua, sebagai sarana
pemberitaan Firman. Menurut hemat saya itu yang lebih penting. Perkara
menggunakan musik tradisional atau khas budaya lokal, itu akan menjadi sangat
berarti bila disesuaikan dengan keadaan atau situasi di mana musik itu
dilayankan.
Bila
kita hendak memanfaatkan dan mengembangkan musik tradisional (khas) kita, maka
setidaknya ada beberapa hal yang harus kita pertimbangan:
- Hilangkan pikiran bahwa Musik produk Eropa adalah satu-satunya musik yang baik
- Mampu untuk mengadaptasi lagu dan melodi ke dalam notasi pentatonik, tritonik, ditonik, atau hanya monotonik,
- Menerima fakta bahwa ada orang yang tidak dapat bernyanyi menggunakan notasi (balok atau angka)
- Hilangkan asumsi bahwa musik lokal adalah dosa karena terkait leluhur
5. Menggunakan bahasa lokal
6. Membuat komposisi musik untuk gereja dalam idiom-idiom budaya
sendiri
7. Berani
untuk melakukan kolaborasi musik etnik dengan musik modern (techno music).
8. Tempatkan
dalam tata ibadah atau liturgi.
9. Kaya
dengan tema keseharian.
Secara teologis,
pemanfaatan dan pengembangan musik tradisional sebagai sarana mengkomunikasikan injil, harus pula bertumpu
pada spirit teologi kontekstual sbb:
- Bertumpu pada dasar Alkitab – Injil
- Dipandu oleh Roh Kudus
- Menghargai dan mengetahui kebudayaan sebagai pemberian anugerah Tuhan
- Berteologi yang konstruktif dalam konteks kebudayaan dunia.
Penutup
Kita tidak bisa
mengutamakan musik lebih dari pemberitaan Injil, atau sebaliknya mengutamakan
pemberitaan Injil tanpa dukungan musik. Kedua-duanya harus berjalan seimbang
dan saling mendukung. Jika kita mengutamakan musik, maka pemberitaan Injil
tidak lebih dari pada konser biasa. Jika
kita mengabaikan Roh Kudus, maka musik yang kita gunakan akan cenderung
individual dan penonjolan skill. Jika kita tidak menghargai budaya sebagai
anugerah Tuhan, maka kita akan terbenam dalam budaya dominan atau dominasi budaya.
Pekabaran Injil adalah tindakan teologi (doing
theology) yang memerlukan kreatifitas kontsruktif yang tidak membawa kita
kepada keterasingan di tengah-tengah dunia.
[1]Jan Harold Brunvand, The Study of American Folklore - an
Introduction dalam James Danandjaja, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Cet.
IV(Jakarta : Pustaka
Utama Grafiti, 1994), hlm 141
[2] Salah satu contoh adalah lagu :
“Rasa Sayang “ yang sempat menimbulkan masalah karena oleh orang Maluku,
diklaim sebagai lagu rakyat Maluku.
[3] Pattikayhattu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian
Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah Maluku. (Jakarta : Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, 1977), hlm.36
[4] ibid
[5] Christian I. Tamaela., Ekspresi Injil dan Adat dalam Musik Gerejawi
di Gereja Protestan Maluku. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar