Senin, 02 Maret 2015

PELATIHAN PKKPG TINGKAT DASAR AMGPM CABANG TIBERIAS II



Mengkomunikasikan Injil Melalui Musik Tradisional Maluku
Seputar Pemanfaatan dan Pengembangan Musik Tradisional sebagai Sarana Mengkomunikasikan Injil di Gereja Protestan Maluku
Oleh: Pdt. P.B. Salenussa, S.Si. Teol., M.Sn.

Pendahuluan

Pekabaran Injil dapat dimaknai secara sederhana sebagai tugas untuk menyebarluaskan kabar atau berita sukacita tentang keselamatan yang dikerjakan Allah melalui Yesus, yang kini dipercayakan kepada Gereja. Tentunya kita semua memaklumi juga bahwa kekristenan yang hadir di Maluku adalah buah dari pekabaran Injil. Melalui para misionaris Eropa, Injil diberitakan dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga lahirlah Gereja Protestan Maluku.
Pekabaran Injil kerap juga dipandang sebagai suatu tugas menyebarkan kekristenan di wilayah-wilayah yang belum mengenal Injil di mana masyarakatnya masih kuat mempertahankan kebudayaan lokal. Meskipun kini kita telah tiba di era modernisasi, namun tugas pekabaran Injil masih terus berlangsung, hanya saja telah mengalami transformasi seiring perkembangan pemikiran teologis.
Hal penting yang perlu disampaikan di sini, merujuk pada persoalan bagaimana mengkomunikasikan Injil di masa sekarang ini. Tentunya perkembangan dunia juga turut memengaruhi kehidupan manusia, baik pemikiran maupun perilaku sosialnya, termasuk juga cara berteologi. Oleh sebab itu model-model pekabaran Injil juga harus disesuaikan dengan perkembangan tersebut dengan cara mengkomunikasikan Injil secara tepat dan kontekstual.  Judul di atas ini sengaja dipilih agar muatan aplikatifnya lebih terlihat, yakni bagaimana musik tradisional dapat digunakan sebagai media mengkomunikasikan Injil secara kontekstual.

A. Peristilahan Seputar Musik Etnik

Ada beberapa istilah yang kerap digunakan bila musik dihubungkan dengan budaya tertentu. Kita kerap mendengar istilah: lagu rakyat, lagu tradisional, lagu daerah, lagu asli atau lagu “tana”. Istilah ini kerap membingungkan kita sehingga cenderung orang menyamaratakan semua itu atau menggeneralisasikannya dalam satu kandungan yang kita sebut musik tradisional. Namun tentunya semua itu tidaklah sama persis. Oleh sebab itu perlu dipahami secara lebih baik istilah-istilah tersebut agar tidak rancu dalam penggunaannya.

1. Nyanyian Rakyat (folksong)

Terlalu luas bila kita membicarkan musik, maka marilah kita membatasinya dengan menggunakan salah satu komponen dalam musik yakni nyanyian. Kita kerap bertemu dengan istilah “nyanyian rakyat” atau “lagu rakyat”.  Jan Harold Brunvand, mendefinisikan nyanyian rakyat (folksong) sebagai salah satu genre atau bentuk dari folklor.[1] Folksong terdiri dari kata dan lagu dan beredar secara lisan di antara anggota kelompok tertentu, berbentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Salah satu variannya adalah near song yang lebih menekankan lirik daripada lagu. Jenis folksong tersebut (near song) tergologn sebagai ’nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya’(contoh:Kapata). Selain ’nyanyian rakyat yang tidak sesungguhnya’, ada juga ’nyanyian rakyat yang sesungguhnya’ di mana lirik dan lagu sama-sama memegang peranan penting dan berfungsi memberikan penjelasan atau menceritakan tentang aktifitas kehidupan sehari-hari. Yang tergolong jenis ini adalah nyanyian kelonan (lullaby), nyanyian kerja (working song), dan nyanyian permainan (play song).
Pada umumnya, lagu rakyat  dimaknai sebagai lagu-lagu yang dipergunakan sehari-hari. Ciri-ciri mendasar dari lagu rakyat ini adalah, bersifat anonim (penciptanya tidak dikenal), sederhana dan dikenal luas, serta diklaim sebagai milik kolektif.[2]  Penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa lagu rakyat memiliki landasan sosial yang kuat meskipun tidak dilindungi oleh hak cipta.
2. Lagu [bahasa]Tana
Diketahui bahwa sekitar abad I – 1500 M mulai nampak kemajuan dalam bidang kesenian di Maluku.[3]  Seni yang berkembang saat itu termasuk di dalamnya kapata, yaitu nyanyian-nyanyian tana yang berhubungan dengan sejarah dan kepercayaan (agama) serta pujaan terhadap keindahan dan kekayaan alam.[4]
Menurut Tamaela, kapata ialah tradisi menutur peristiwa dan sejarah masa lampau yang disampaikan secara setengah bernyanyi dan setengah berbicara.[5] Secara terminologis, kapata berasal dari kata Kapa Pata Tita. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai, “Ucapan tegas tak dapat dirobah yang naik ke atas sebagai gunung berpucuk tombak- tertuju kepada Allah.” Kapa artinya, puncak gunung yang berbentuk tajam seperti jari telunjuk yang menunjuk ke langit; pata artinya : diputuskan, definif dan tak dapat dirobah; sedangkan tita  berarti : sabda  atau ucapan tegas. [6] Jadi kapata merupakan nyanyian asli Maluku sebagai bentuk ekspresi seni dan religius dari masyarakat pra modern di Maluku.
3. Lagu Daerah
Istilah lain yang juga digunakan adalah, “lagu daerah”. Dari segi bahasa, istilah daerah memang berbeda dengan rakyat. Konsep daerah lebih bersifat politis sebab menunjukkan batas-batas wilayah etnis tertentu. Bila istilah tersebut dipergunakan, maka pemaknaan terhadap istilah tersebut dapat mengarah kepada lagu yang bersifat kedaerahan. Itu berarti identitas etnis yang lebih mendapat tempat.
Dengan  datangnya bangsa-bangsa dari Barat, Portugis dan Belanda, maka orang Maluku mulai menerima pengaruh-pengaruh Barat. Salah satu contoh adalah penggunaan bahasa asli semakin berkurang di wilayah-wilayah tertentu terutama di desa-desa yang telah menjadi Kristen. Terlepas dari aspek politis, penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan sehari-hari turut membuka ruang untuk proses sosialisasi budaya baru secara lebih luas. Perkembangan lain yang juga dialami pada masa kolonial adalah masuknya musik modern. Lagu-lagu rohani yang digunakan dalam ibadah di jemaat-jemaat Kristen adalah lagu-lagu yang diadopsi dari daratan Eropa dan menggunakan tangga nada diatonis. Lagu-lagu rakyat yang kerap digunakan sehari-hari kemudian mengalami transformasi menjadi lagu daerah, seiring perkembangan kehidupan sosial. Kebutuhan akan hiburan seiring dengan berkembangnya musik teknologi, turut pula menyebabkan sehingga lagu-lagu daerah lebih sering ditempatkan sebagai sarana hiburan. Kini kita lebih sering mendengar istilah lagu pop daerah Maluku.
4. Alat Musik
            Bila kita berbicara tentang musik, maka setidaknya harus meliputi dua aspek yakni: musik vokal dan instrumental. Di atas kita sudah berbicara tentang musik vokal (nyanyian), maka di sini kita akan sedikit membahas tentang Alat musik. Orang Maluku tidak dapat dipisahkan dari Tifa dan tahuri (kuli bia). Pada dasarnya kedua alat musik itu masuk dalam kategori tidak bernada jika dibunyikan secara sendiri-sendiri. Yang  diutamakan hanyalah ritme sebagai penuntun. Selain itu dikenal juga totobuang, suling, hawaian, ukulele, gitar, yang masuk kategori bernada. Musik diatonis memang telah berkembang di Maluku sejak masa masuknya orang Eropa. Hal itu ditandai dengan hadinya musik keroncong di Maluku yang menjadi salah satu kiblat musik keroncong di Indonesia. 
            Secara keseluruhan, semua alat musik yang disebutkan di atas dianggap sebagai alat musik tradisional Maluku. Memang tidak dapat disangsikan demikian. Namun perlu dimengerti bahwa terminologi tradisional di sini harus dipandang sebagai hasil warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi tanpa memperhitungkan sisi orisinalitasnya. Itu berarti yang dimaksud musik tradisional di sini adalah musik sebagai hasil transmisi antargenerasi dengan segala perkembangannya.

B. Berteologi dengan Musik yang Kontekstual
Jika kita masih ingin menggunakan istilah musik tradisional Maluku, maka marilah dengan lapang dada kita menerima bahwa musik tradisional kita adalah musik yang telah mengalami adaptasi dan percampuran dengan musik Barat, baik musik vokal maupun instrumentalnya.  Artinya, sekalipun kita menganggapnya sebagai kekayaan dan warisan budaya kita, tapi jelas tidak lagi dalam wujud yang asli. Kita masih menemukan sedikit keaslian itu pada kapata (Maluku Tengah), foruk (MTB),  atau diarki (MBD) melalui ciri resitatifnya.
GPM telah meluncurkan buku nyanyian jemaat yang di dalamnya terdapat berbagai bahasa di  wilayah pelayanan GPM. Namun menurut saya, hal itu tetap belum mewakili ciri musik etnik kita oleh karena tetap berciri musik tonal yang tentunya produk Barat. Kalaupun ada, maka yang muncul hanyalah bahasa sebagai pertanda bahwa ada corak etniknya. Itu berarti yang baru kita lakukan hanyalah sebatas kontekstualisasi bahasa, bukan musik. Kalaupun kita mencoba untuk menggunakan instrument (alat musik) yang kita klaim sebagai alat musik tradisional, itupun masih ada celahnya, karena suling dan totobuang memiliki tangga nada Barat.
Terlepas dari problem yang disebutkan di atas, tidak berarti kita tidak bisa berteologi secara kontekstual dengan menggunakan kekayaan musik kita. Kita harus tetap berdiri pada pijakan teologi kita tentang  nyanyian sebagai media berteologi.  Perbedaan kekristenan dengan agama lain adalah Kekristenan telah menjadi agama yang bernyanyi. Kekristenan tidak pernah tanpa musik. Ibadah Kristen adalah ibadah yang bertema pujian dan ucapan syukur. Dasar peribadatan Kristen yang kental dengan nyanyian ditemukan pada Kel. 15, ketika umat Israel melewati laut Teberau. Kita harus betul-betul memaknai tentang nyanyian dalam ibadah. Ada dua hal penting mengapa orang Kristen bernyanyi. Pertama, sebagai respons kepada Tuhan [karena kita diselamatkan Tuhan].Kedua, sebagai sarana pemberitaan Firman. Menurut hemat saya itu yang lebih penting. Perkara menggunakan musik tradisional atau khas budaya lokal, itu akan menjadi sangat berarti bila disesuaikan dengan keadaan atau situasi di mana musik itu dilayankan.
Bila kita hendak memanfaatkan dan mengembangkan musik tradisional (khas) kita, maka setidaknya ada beberapa hal yang harus kita pertimbangan:
  1. Hilangkan pikiran bahwa Musik produk Eropa adalah satu-satunya musik yang baik
  2. Mampu untuk mengadaptasi lagu dan melodi ke dalam notasi pentatonik, tritonik, ditonik, atau hanya monotonik,
  3. Menerima fakta bahwa ada orang yang tidak dapat bernyanyi menggunakan notasi (balok atau angka)
  4. Hilangkan asumsi bahwa musik lokal adalah dosa karena terkait leluhur
5.      Menggunakan bahasa lokal
6.      Membuat komposisi musik untuk gereja dalam idiom-idiom budaya sendiri
7.      Berani untuk melakukan kolaborasi musik etnik dengan musik modern (techno music).
8.      Tempatkan dalam tata ibadah atau liturgi.
9.      Kaya dengan tema keseharian.
Secara teologis, pemanfaatan dan pengembangan musik tradisional sebagai sarana  mengkomunikasikan injil, harus pula bertumpu pada spirit teologi kontekstual sbb:
  1. Bertumpu pada dasar Alkitab – Injil
  2. Dipandu oleh Roh Kudus
  3. Menghargai dan mengetahui kebudayaan sebagai pemberian anugerah Tuhan
  4. Berteologi yang konstruktif dalam konteks kebudayaan dunia.
Penutup
Kita tidak bisa mengutamakan musik lebih dari pemberitaan Injil, atau sebaliknya mengutamakan pemberitaan Injil tanpa dukungan musik. Kedua-duanya harus berjalan seimbang dan saling mendukung. Jika kita mengutamakan musik, maka pemberitaan Injil tidak lebih dari pada konser biasa.  Jika kita mengabaikan Roh Kudus, maka musik yang kita gunakan akan cenderung individual dan penonjolan skill. Jika kita tidak menghargai budaya sebagai anugerah Tuhan, maka kita akan terbenam dalam budaya dominan atau dominasi budaya. Pekabaran Injil adalah tindakan teologi (doing theology) yang memerlukan kreatifitas kontsruktif yang tidak membawa kita kepada keterasingan di tengah-tengah dunia.


[1]Jan Harold Brunvand, The Study of American Folklore - an Introduction  dalam James Danandjaja, Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Cet. IV(Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1994), hlm 141
[2] Salah satu contoh adalah lagu : “Rasa Sayang “ yang sempat menimbulkan masalah karena oleh orang Maluku, diklaim sebagai lagu rakyat Maluku.
[3] Pattikayhattu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Sejarah Daerah Maluku. (Jakarta : Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, 1977), hlm.36
[4] ibid
[5] Christian I. Tamaela., Ekspresi Injil dan Adat dalam Musik Gerejawi di Gereja Protestan Maluku.  27
[6] M.C Boulan,Op. Cit, hlm.26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar